Jumat, 22 Maret 2024

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana

Pemeluk  Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, tidak ada upaya kristenisasi yang dilakukan oleh gereja terhadap penduduk pribumi, kecuali terhadap penduduk Kepulauan Mentawai yang masih menganut animisme.

Pemerintah Belanda melarang keras aktivitas kriste-nisasi terhadap pribumi. Dan itu ditaati. Tapi, kemudian, ada empat orang pemuda Minang yang memeluk agama Kristen tahun 1951. Inilah (mungkin) “kecelakaan pertama” yang terjadi di ranah Minang. Setelah itu sepi.

Tapi, tahun 1999 ranah Minang tersentak, ketika kasus Wawah, siswa MAN 2 Gunung Pangilun terbongkar. Kristenisasi rupanya telah berlangsung lambat namun pasti.

Belakangan diketahui bahwa seorang pemuda Lubuk Basung, Kabupaten Agam, telah menjadi pendeta. Sendi adat Minang goyah dibuatnya.

Adat di sini menyatakan, orang Minang pastilah beragama Islam. Kalau ia Minang, kemudian pindah agama?

“Ia bukan orang Minangkabau lagi,” kata Ketua Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat, Haji Kamardi Rais Datuk P Simulie. Tak soal, Minang lagi atau bukan, yang penting pindah agama dulu.

Hantu yang Menakutkan

 Apa hendak dikata, kristenisasi memang jalan terus, yang bagi orang Minang telah jadi hantu yang menakutkan. Setidaknya hal itu, terjadi sejak Wawah, yang dipaksa memeluk Kristen, pada tahun 1999 silam. Inilah sebuah ketakutan yang datang dalam kelam. Sewaktu-waktu, anak, adik, kakak, famili dekat atau dirinya sendiri bisa pindah agama, entah karena sebab apa. Kasus Wawah, dinilai oleh “sahabat” kita dari pemeluk Kristen sebagai sebuah kasus yang didramatisir dengan dahsyat. Jauh cerita dari fakta yang sesungguhnya. Mereka lewat internet membantah semua peristiwa itu. Harian Republika dituduh sebagai media yang berandil besar mendramatisasi kejadian tersebut.

Sebenarnya, Muhamadiyah Sumatera Barat telah mendeteksi bahwa gerakan kristenisasi memang ada di daerah itu. Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) setempat juga telah mencatatnya. Sosiolog Dr Mochtar Naim juga sudah membeberkan sejumlah kejadian, bahwa kristenisasi di ranah Minang sedang giat dilaksanakan. Malah Mochtar menulis di koran lokal bahwa upaya itu dilakukan lewat berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berkedok kerukunan umat beragama.

DDII juga sudah mendeteksinya. “Ada sejumlah modus operandi yang dipakai untuk mengambil pemeluk Islam,” kata Buya Mas’oed Abidin dari DDII Sumatera Barat kepada Republika. Pertama, dengan cara menjinakkan umat Islam yang miskin dengan materi. “Ini cara yang sudah kuno, tapi tetap dipakai,” katanya. Kedua, dengan cara pernikahan. Pernikahan bisa dilangsungkan dengan cara sejak awal masing-masing pihak sudah menyadari posisinya. Tapi banyak yang terjebak.

“Malah ada dengan cara hipnotis segala,” kata Buya. Ketiga, dengan bujuk-rayu. Korban terbanyak adalah anak-anak sekolah. Wawah adalah salah satu buktinya.

Karena itu, kata Buya Mas’oed, yang perlu dilakukan adalah memperkuat institusi keluarga. “Kemudian perkembangan intelektual, emosional harus diselaraskan dengan pemahaman spritual, jika tidak, maka orang sering tergelincir di sana,” katanya lagi.

Kristenisasi memang menjadi sesuatu yang membuat cemas banyak orang di Sumatera Barat. Sasarannya adalah desa-desa miskin, kampus dan lembaga pendidikan menengah. Kondisi inilah yang dipotret oleh sebuah yayasan bernama Yayasan Paga Nagari (YPN). YPN sejak lama terus memantau geliat gerakan salibiyah di Sumatera Barat. “Saya punya bukti,” kata ketua YPN Hamdi Elgumanti menjawab Republika.

Ia kemudian menyodorkan apa yang ia sebut sebagai bukti itu. Paling tidak ada tiga kelompok besar yang masuk ke Sumatera Barat. Pertama, kelompok pendeta Akmal Sani. Orang ini adalah anak Pangkalan Koto Baru, Kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat. Memeluk Kristen sejak beberapa tahun silam. Kini ia sudah menjadi tokoh di agama itu. Ia masuk lewat gerakan Kristen Kharismatik.

Masih menurut Hamdi, kelompok pertama ini merekrut anak-anak Minang untuk dididik selama tiga bulan sebagai penginjil.

“Daerah operasinya di Sawahlunto Sijunjung, Pasaman, Solok dan Bukittinggi,” katanya.

Kemudian kedua kelompok Kristen Nehemiah Kristen Centre (NKC) dengan tokohnya Suradi dan Winangun. Kelompok ini suka membuat kamuflase ayat-ayat suci Qur’an. Sasarannya penduduk di desa-desa pinggiran provinsi.

Menurut Hamdi, orang asing dari Amerika Serikat bernama Antony Adams yang diusir dari Kabupaten Pesisir Selatan Sumatera Barat beberapa waktu lalu, merupakan salah seorang dari mereka.

“Paga Nagari menemukan kegiatan Adams dan melaporkannya ke pihak berwenang,” kata Hamdi.

Ketiga, kelompok Sekolah Pendidikan Theologi Apostolos dengan tokohnya Yusuf Roni. Murid-murid sekolah ini memakai jilbab, belajar agama Islam sebanyak 40 satuan kredit smester (SKS). “Jadi pemahaman Islamnya lebih dalam dari kita,” katanya.

Sementara itu, Ketua DPW-Muhammadiyah Sumatera Barat, Syofwan Karim Elha menyebutkan, gerakan kristenisasi itu merupakan kewajiban bagi orang Kristen. “Secara laten dan tersistematis hal itu memang terjadi, persoalannya kita hanya reaktif sesaat, tidak sistematis pula menghadapinya,” katanya.

Yang penting, kata Syofwan, umat Islam secara bersama-sama melakukan dakwah bermanfaat bagi umat. Dakwah harus menyentuh persoalan pendidikan, ekonomi dan ketahanan iman, tak masanya hanya berkutat soal surga dan neraka saja.

Perubahan materi dakwah ini penting, karena umat Islam sedang bertarung dengan mereka.

“Bagi mereka kewajiban melakukan kristenisasi, bagi kita jihad untuk menghentikannya,” katanya.

Muhammadiyah Sumatera Barat dan ormas Islam lainnya telah mengantisipasinya. “Kita tidak pernah berhenti, sebab kalau berhenti kita kalah,” katanya.

“Jadi harus berkelanjutan, sebab sasarannya daerah miskin, daerah transmigrasi dan anak-anak kita yang terlibat narkoba,” katanya.

Tak hanya itu, tapi juga masuk lewat cinta gombal, sesuatu yang seharusnya tidak mereka lakukan. Meng-ingat gerakan salibiyah yang terus-menerus itu, maka Syofwan Karim Elha melihat, umat Islam di Sumatera Barat memang harus bahu-membahu memagar keluarga dan agamanya. 

Kasus Politani Unand

Kampus Politeknik Pertanian (Politani) Universitas Andalas (Unand) yang terletak di Tanjung Pati, Kabupaten 50 Kota—sekitar 140 km dari Padang ke arah perbatasan Riau—merupakan kampus yang sejuk, namun belakangan kampus itu bagai bara. Api menyala di setiap mata mahasiswa, juga di mata pemuka masyarakat sekitar kampus. Masalahnya, telah terjadi kristenisasi dengan cara hipnotis terhadap sejumlah mahasiswa di sana.

Adalah MUI Kabupaten 50 Kota, lewat suratnya tertanggal 20 September 2003 yang ditujukan kepada Rektor Unand Marlis Rahman menyatakan,  bahwa telah terjadi (kembali) upaya kristenisasi di Kampus Politani Unand, Tanjung Pati. Hal ini dilakukan oleh beberapa orang dosen dan mahasiswa di sana. Karena itu, MUI Kabupaten 50 Kota membuat pernyataan bersama, agar rektor memberikan perhatian yang serius atas kasus tersebut.

“Masyarakat tidak main-main lagi. Kami sudah berusaha untuk meredamnya, namun jika tidak ditanggapi segera, kami tidak menjamin bahwa masyarakat kami bisa tahan, apalagi tindakan-tindakan meresahkan tersebut terus berlangsung di tengah masyarakat,” tulis MUI 50 Kota.

Surat yang ditandatangani ketua dan sekretaris MUI 50 Kota H RA Dt  Paduko Alam dan Z Dt Rajo Mangkuto itu, menyatakan bahwa upaya kristenisasi telah dilakukan oleh dua orang dosen dan dua orang mahasiswa Politani. Mereka terdiri dari dua orang dosen dan dua orang mahasiswa

Lalu apa yang dilakukan insan kampus ini?

Masih menurut MUI 50 Kota, tindakannya meliputi kristenisasi dengan kekuatan mistik. Banyak korban kesurupan. Malah hampir tiap malam sejak 21 Juni 2003 dan terakhir 22 Agustus 2003. Sampai sekarang, menurut Ketua MUI 50 Kota, Datuk Paduko Alam, keadaan korban belum pulih.

“Pengakuan saudara Demi Hotmawat tanggal 26 Juni 2003 pukuk 07.25 WIB yang menyatakan bahwa ia telah melakukan upaya kristenisasi melalui sihir kepada pemeluk Islam di 50 Kota. Hal itu dilakukan karena dipaksa oleh dosennya,” tulis MUI 50 Kota pula.

Masih menurut hasil investigasi MUI 50 Kota, masyarakat menangkap basah Novelinda Silaban meletakkan jejamu sihir di halaman rumah penduduk pada 21 Juni 2003 sekitar pukul 19.00 WIB.

Jatuh 23 korban

Menurut informasi yang dihimpun oleh Forum Bersama Umat Islam Payakumbuh (ibu kota Kabupaten 50 Kota—3 km dari Tanjung Pati lokasi Kampus Politani Unand), upaya kristenisasi oleh dosen dan mahasiswa Kristen Politani itu, telah memakan korban sebanyak 23 orang. Mahasiswa korban upaya kristenisasi lewat hiptonis itu adalah: Desi Afriani, berasal dari Bengkalis, Riau, Lisma Zalianti berasal dari Taluak Kuantan, Riau, Nana Apriana juga dari Bengkalis. Berikut Sumini dari Palembang, Febrianti, Palembang, Yusnimar, dari Pangan, Jambi, Merianti, dari Bukittinggi. Lalu, Yuliana Veronika Ambia dari Pelembang, Nora Carolina, Palembang, Maya Sari Siregar, Padang Sidempuan, Sumatera Utara. Selanjutnya, Devi Afriani, Padang Panjang Sumatera Barat, Liana Melati, Padang Sidempuan, Kurnia dari Air Molek, Riau, Santi, Padang, dan Nova dari Medan.

Korban berikutnya, Desi Armianti, dari Solok Sumatera Barat, Sovia, Medan, Helmi dan Ridha juga dari Medan. Dua terakhir yang jadi korban menurut versi Forum Bersama Umat Islam Payakumbuh ini adalah Robiatul Adabiah dan Yesrida Rahman keduanya dari Pasaman, Sumatera Barat. Masih menurut forum ini, yang 23 orang itu, merupakan korban hipnotis yang dilakukan oleh 10 orang mahasiswa Kristen di Politani. Mahasiswi yang jadi korban, semuanya memakai jilbab.

Meluas  ke MAN II Payakumbuh

Apa yang disebut sebagai hasil investigasi yang dilakukan LSM Paga Nagari yang dirilis 6 Oktober 2003 lalu, membeberkan bahwa upaya kristenisasi telah meluas melampaui dinding kampus Politani. Menurut Ketua Tim Investigasi Kristenisasi Paga Nagari, Drs Ibnu Aqil D Ghani, sebanyak 11 orang siswa MAN II Payakumbuh telah jadi korban upaya kristenisasi lewat santet dan bantuan jin.

Korban berjatuhan pada 24 September 2003. Mereka adalah Yeni Meia Putri, Maryetio Auliana, Yesi Usman, Efni Ceria, dan Efrina Sastera. Berikutnya, Eka Novianti, Wahyu Kurniawan, Eva Yusra, Dewi Yusra dan Tuti Fitria Susanti serta Lili Suryani.

Paga Nagari juga membeberkan bahwa upaya serupa sebelum juga telah terjadi di Politani pada Agustus 2002 dan Juli 2003. Selanjutnya terjadi pula Juli 2003 yang menimpa 10 orang santri putri pesantren Khairu Ummah, Tunggul Hitam, Padang. Menurut Paga Nagari dalam kasus Tunggul Hitam, pelaku utamanya adalah seorang dosen dari Universitas Negeri Padang (UNP). Kasus serupa menimpa sejumlah siswi di sebuah pesantren di Tungkar, Kabupaten 50 Kota, pada Agustus 2003.

Karena telah mencatat sejumlah temuan, maka kemudian perantau dan sejumlah organisasi masyarakat Sumatera Barat pada 6 Oktober 2003 mengeluarkan pernyataan bersama. Inti pernyataan itu mendesak rektor Unand, gubernur, Kapolda, pihak terkait lainnya untuk cepat bertindak, sehingga upaya kristenisasi tersebut bisa dihentikan secara optimal. Malah mereka mendesak pelaku kristenisasi diusir dari Sumatera Barat.

Investigasi Unand

 Pembantu Rektor II Universitas Andalas (Unand) Musliar Kasim kepada Republika di Padang, Rabu, 15 Oktober, menyatakan, pihaknya baru kembali dari Politani di Tanjung Pati.

“Saya dan sejumlah dosen yang ditunjuk rektor baru dari lapangan,” katanya. Musliar sudah mewawancarai para korban dan Direktur Politani.

“Menurut korban, memang ada upaya untuk mengkristenkan mereka,” kata Musliar.

Siapa pelakunya? “Ada seseorang yang tinggal di dekat kampus yang menyamar sebagai pedagang. Dialah yang melakukan hal itu,” kata Musliar. Orang tersebut telah diusir oleh warga setempat. 

Orang tersebut melakukan aktivitas salibiyah ke kampus Politani. “Ada 23 korban, para korban belum berhasil dikristenkan,” katanya. Korban sering mengigau dan menyebut-nyebut nama Yesus. “Jangan kristenkan kami, jangan bawa kami ke gereja,” begitu antara lain igauan mereka.

Soal keterlibatan dosen?

“Menurut Direktur Politani, dosen tidak mungkin terlibat,” sebut  Musliar. Namun, ia tidak bisa menerima begitu saja pengakuan tersebut. “Saya dan tim akan kembali lagi ke Politani guna menemui dosen dan mahasiswa yang diduga melakukan gerakan salibiyah itu,” katanya. Ia belum berani mengambil kesimpulan apakah dosen terlibat atau tidak. “Kalau terlibat kita akan bilang terlibat, kalau tidak kita akan bilang tidak,” katanya lagi.

Yang jelas, Unand tidak akan memberi toleransi terhadap pihak manapun yang menjadikan kampusnya sebagai ajang kristenisasi. “Kita tidak akan tolerir hal itu,” katanya. 

Proyek Rp100 triliun

Sebuah pertemuan pada 17 September 2003 yang dilangsungkan di Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau (PPIM) Padang. Dalam pertemuan itu hadir Ketua MUI Sumatera Barat Prof Nasrun Harun, Sekjen PPIM Najmuddin Muhamad Rasul, Ketua Forum Penegak Syariat Islam, Irfianda Abidin, Pimpinan Pesantren Ashaabul Kahfi, Afiif Abdul Hadi, dan dari Komite Peduli Umat Islam Bandung (KPUB), Jawa Barat, yaitu A Rifki dan Hari Nugraha. Selain mereka juga hadir 30-an peserta lainnya. Dalam acara itu dibicarakan upaya menghambat kristenisasi di ranah Minang, sebuah suku bangsa yang erat memegang postulat, adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.

Menurut KPUB, kristenisasi di Indonesia saat ini didanai dengan uang sebesar Rp 100 triliun. Tidak dijelaskan dari mana asal uang sebanyak itu dan siapa sumber informasinya. Yang dijelaskan, dana sebanyak itu dibagi untuk mengkristenkan masyarakat di tiga wilayah penting, yaitu Jawa Barat Rp 29 triliun dan masing-masingnya Rp 10 triliun untuk Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan. Sisa dana lainnya tidak dijelaskan.

Angka-angka ini memang sulit dilacak. Meski begitu, menurut Irfianda Abidin, kenyataan hari ini, bahwa Sumatera Barat menjadi prioritas kedua setelah Jawa Barat. Apapun, kata Ketua MUI Sumatera Barat Nasrun Harun, kasus kristenisasi di manapun tidaklah berdiri sendiri.

“Ini terkait dengan kerusakan moral seperti narkoba, perjualan manusia, pornografi dan pornoaksi,” katanya.

MUI ranperda Penyebaran Agama

Karena derasnya upaya kristenisasi itu, Nasrun Harun menyatakan, MUI akan mendukung mati-matian DPRD Sumatera Barat dalam membuat ranperda penyebaran agama di daerah itu. ranperda ini dimaksudkan untuk mengantisipasi kuatnya gerakan salibiyah di Provinsi Sumatera Barat.

“Kita akan mendukung habis-habisan pembuatan ranperda itu,” kata Ketua MUI Sumatera Barat Prof Nasrun Harun, kepada Republika.

Menurut dia, ranperda itu sangat penting artinya bagi Sumatera Barat, karena daerah ini merupakan salah satu sasaran penting kaum salibiyah.

Pendapat ini dikemukakan Nasrun menyusul adanya pernyataan dari DPRD Sumatera Barat yang menyebutkan, lembaga itu segera akan membuat ranperda insiatif penyebaran agama. Ketua Komisi E DPRD Sumatera Barat, Abdul Manaf Taher kepada pers menyebutkan, ranperda itu sebenarnya sudah ada, tapi terkubur cukup lama di tangan eksekutif. Karena tidak jelas kabarnya, maka DPRD akan membuat ranperda tersebut.

Menurut Abdul Manaf Taher, ranperda tersebut hanya untuk memperkuat SK tiga menteri tentang penyebaran agama. Di situ disebutkan, tidak dibenarkan menyebarkan agama kepada orang yang sudah beragama. 

Sejarah Panjang di Minangkabau

Menurut literatur di zaman penjajahan tidak pernah ada upaya kristenisasi dilakukan oleh penginjil. Menurut buku berjudul Sumatera Tengah, sebuah buku paling lengkap tentang Sumatera Tengah sampai detik ini. “Di daratan Sumatera Tengah ini boleh dikatakan tidak pernah diusahakan pengajaran Injil kepada rakyat Minangkabau karena larangan dari pemerintah kolonial Belanda dulu. Oleh karena itu, agama Kristen hanya terdapat di kalangan beberapa suku penduduk saja yang berada di Padang.”

Masih menurut buku yang sama di Sumatera Tengah (Sumatera Barat, Riau dan Jambi ) rakyat asli tidak mau masuk agama Kristen, kecuali orang Mentawai. Ke Mentawai masuk Kristen Protestan pada permulaan abad-20. Pendeta didatangkan dari kongsi Rheinisce Mission Gesellschaft dengan pendeta pertama bernama Let yang datang tahun 1910, disusul kemudian pendeta F Borger dan Finke.

Agama Kristen juga sudah masuk ke Kabupaten Padang Pariaman Sumatera Barat pada permulaan abad 20 lewat orang Nias, Sumatera Utara. Penginjil pertamanya adalah seorang Jerman bernama Dorsaf. Orang Nias yang tinggal di Pariaman yang dikristenkan pertama kali terjadi tahun 1907. Tapi, sampai sekarang, tidak seorang pun warga asli Pariaman yang masuk agama Kristen. Dekat Bandara Internasional Ketaping, yang sekarang sedang dibangun akan ditemukan sejumlah gereja. Di sana mula-mula didirikan sekolah Kristen tahun 1919. Sekarang wilayah yang masuk daerah Padang Pariaman itu, didiami oleh warga asli beragama Islam dan warga Nias beragama Kristen.

Di Kota Padang telah dibangun gereja tahun 1936 oleh pemeluk Kristen pribumi dari suku lain (bukan Minang). Mereka adalah ”Belanda Hitam” yang bertugas di Padang waktu itu. Masih di Padang pemeluk Katholik Roma pada tahun 1912 berjumlah sekitar 750 orang dan di seluruh Sumatera Barat sekitar 1300 orang, tersebar di Padang, Bukittinggi, Payakumbuh, dan Sawahlunto. Sebanyak 95% dari mereka adalah orang Eropa.

Pada tahun 1929 pemeluk Kristen di Padang giat mendirikan sejumlah lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan mereka maju pesat dengan siswa anak-anak Tionghoa dan Belanda. Sementara di Bukittinggi telah berdiri (kembali) geraja sekitar tahun 1916-1917 dengan pendeta Grammer.

Namun gereja Masehi Advent Hari ke Tujuh untuk yang pertama kalinya didirikan di Indonesia ialah di Padang, yaitu pada tahun 1900. Pendirinya keluarga R.W. Manson. Orang yang pertama kali berhasil “dipermandikan” kemudian memeluk agama ini adalah seorang pemuda Batak bernama Immanuel Siregar, disusul kemudian oleh beberapa orang pemuda Tionghoa.

Orang Minang yang pertama memeluk agama Kristen adalah Kristen Advent Hari ke Tujuh. Mereka lama bermukim di Singapura. Pada tahun 1950 mereka pulang kampung. Setahun kemudian perantau ini berhasil mengkristenkan orang kampungnya sebanyak empat orang dan “dipermandikan” oleh M Siregar yang khusus didatangkan dari Palembang.

Hari ini, seperti juga abad lalu, pemeluk Islam (mayoritas) dan pemeluk Kristen di Minangkabau hidup berdampingan. Tidak ada cekcok dan pertengkaran. Dalam suasana damai itulah kemudian proyek kristenisasi diluncurkan. Sulit membuktikannya, namun terasa adanya. (KJ)

 

Harian Republika, Padang, 11 Oktober 2003

Sumber: Buku Khairul Jasmi Minangkabau dalam Reportase (Kumpulan Feature), Penerbit Kabarita Padang, Agustus 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...