Senin, 18 Maret 2024

Belajar Mandiri


Romo Dijkstra berpulang di Pastoran Girisonta, Ungaran. Kota kecil di pinggir Semarang, awal minggu kedua Mei 2003, diselimuti mendung syahdu waktu Uwan ikut melayat dan mengikuti prosesi penguburannya. 

Pastoran yang luas dan teduh merupakan semacam panti jompo, terminal bagi para pastor yang uzur menunggu panggilan menghadap Bapa di surga. Makanya, kata Sabastian Saragih belakangan, istilah Girisonta menurut keyakinan umat Katolik Jawa diartikan semacam jembatan menuju surga. 

Romo yang wafat di usia sangat senja, 92 tahun, adalah salah satu mentor Uwan dalam hal pengembangan perdesaan, khususnya membangun sikap kemandirian masyarakat. Romo memperkenalkan kepada kami metodologi partisipatoris dalam mengembangkan sikap berdikari, yang kemudian dikenal sebagai pendidikan pelancar musyawarah. 

Banyak hal yang dicontohkan oleh almarhum, khususnya bagaimana hidup bersahaja, mau lebih banyak mendengar dan bersimpati terhadap perjalanan nasib sekelompok orang, bersedia tinggal berbulan-bulan di pelosok desa yang jauh serta bagaimana teknik-teknik membangkitkan semangat mereka yang termarjinalisasi oleh pembangunan.

Bincang-bincang kami dengan beberapa sejawat Romo dari keuskupan Semarang menghadirkan keprihatinan lain. Dalam suasana belasungkawa yang mendalam, kami sempat mendiskusikan tentang suasana Jawa Tengah. Katanya lebih 2,6 juta penganggur tercatat tahun lalu, 12,5 persen di antaranya sarjana. Itu artinya penganggur terdidik berjumlah 325 ribu lebih. Memang, mau ke mana di saat tingkat pertumbuhan ekonomi di bawah 4persen per tahun. Kami sepakat, fenomena itu akan menahun dan tidak ada yang merasa pasti kapan mimpi buruk pembangunan akan berlalu.

Sudah saja, kita perlu mengantisipasi dengan langkah-langkah taktis, di antaranya, tentunya mempersiapkan para lulusan pendidikan untuk mengembangkan masa depan sendiri melalui lapangan kerja yang diciptakan secara mandiri. Dengan kata lain, menjadi wiraswasata penuh. Tak perlu menjajakan ijazah ke mana-mana. Tak perlu melamar pekerjaan untuk sekadar penyambung hidup atau sekadar status sosial. Dalam konteks ini, hadirin sepakat bahwa pikiran-pikiran Romo Dijkstra mendapat tempat yang terhormat. Kemandirian individual yang didengung-dengungkan almarhum kembali terasa relevansinya dalam suasana krisis ekonomi yang tengah kita jalani.

Pembicaraan di pekuburan Girisonta menganggu Uwan sepanjang perjalanan pulang ke Jakarta. Mau kemana angkatan kerja terdidik yang membanjir tahun ke tahun? Kalaupun ada sektor lain, apa mereka siap? Kalau tidak siap, tentu dapat menimbulkan kerusuhan sosial?

Makanya, untuk skala modelling Uwan segera memotivasi kemenakan, Renal Iskandar, 20 tahun, yang sedang berkuliah agribisnis di UIN Jakarta. Atas persetujuan dan sokongan pembiayaan dari bapaknya, Uda Azmi Saad, kami merancang kemungkinan menanam pepaya di lahan yang disewa. Lama peluang itu kami bahas, sampai minggu lalu diperoleh lahan seluas 5.000 meter persegi yang sewanya Rp2 juta per tahun.

Renal merancang, bila ditanam pepaya sejarak 2 x 2,5 meter, maka akan diperoleh maksimum 1.000 batang. Dengan memperkirakan tiap batang akan menghasilkan 1 buah matang per minggu diumur produktifnya, maka ada 1.000 pepaya per minggu. Bila tiap buah beratnya rata-rata 2 kilogram minimal, maka tiap minggu akan dihasilkan sedikitnya 2 ton pepaya dari kebon itu. Menghitung umur produktif pepaya 2 tahun atau 100 minggu, maka total kebun itu akan menghasilkan 200 ton pepaya segar.

Kios pepaya paling laris di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Timur, tiap hari menjual 6-8 ton pepaya. Tampaknya etnis Cina yang mayoritas di kawasan itu selalu mengkonsumsi pepaya. Di samping murah, Rp3 ribu per kilo, tentu dalam rangka melancarkan pencernaan mereka. Lewat pukul 20.00, katanya sudah sulit memperoleh pepaya yang baik.

Tertegun juga kami waktu melihat perhitungannya. 200 ton kali Rp2000 saja per kilo, itu artinya sudah Rp400 juta. Ada pendapatan bersih Rp4 juta per minggu. Bila investasi diperkirakan Rp50 juta, termasuk sewa lahan, titik impas (break-even point) akan diperoleh pada minggu ke-13. Minggu ke-14 seterusnya dipungut Rp4 juta per minggu. Artinya, ada penghasilan Rp4 juta per minggu selama 87 minggu. Itu artinya diakhir proyek, Renal akan mengantongi, katakanlah Rp300 juta bersih. Jelas bisa memodali usahanya beragribisnis dengan mantap kelak seselesainya kuliah. Berpengalaman langsung, sudah sarjana, percaya diri karena sudah berpengalaman dan ada modal dasar Rp300 juta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...