Tampilkan postingan dengan label RUANG ANAS NAFIS. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label RUANG ANAS NAFIS. Tampilkan semua postingan

Kamis, 29 Januari 2015

Suku Orang Minangkabau


OLEH
Anas Nafis
Di dunia ini masyarakat atau bangsa yang menganut faham matrilini paling nyata ialah masyarakat Minangkabau. Keturunan mereka dihitung menurut garis keturunan perempuan atau ibu. Garis keturunan ini amat penting dalam menentukan suku dan urusan pewarisan harta pusaka kaum mereka.

Kamis, 23 Oktober 2014

Seminar Adat Minangkabau 1910


OLEH Anas Nafis
Melihat kian susutnya kekuasaan dan kebesaran penghulu, demikian pula hubungan mamak dengan kemenakan yang kian merenggang, ditambah lagi masalah hutan tanah dari waktu ke waktu bertambah ruwet, lalu pada tahun 1910 atas inisiatip Gubernur Sumatra’s Westkust, diadakanlah pertemuan dengan sejumlah tokoh masayarakat terkemuka Minangkabau di kota Fort de Kock memperbincangkan masalah tersebut.

Minggu, 28 September 2014

Surau, di Mana Ia Sekarang

OLEH Anas Nafis
Maraknya keinginan  “kembali ke surau” belakangan ini, ada baiknya kita telaah terlebih dahulu apa yang terjadi selama menjalani pendidikan surau jaman dulu, teristimewa mengenai perkembangan karakter para remaja selama bermukim dan belajar di lembaga pendidikan tradisionil tersebut. 
Ada baiknya pula sebelum sampai kepada yang dimaksud, kita kutipkan arti kata “surau” yang bersua dalam berbagai kamus dan buku dibawah ini.

Minggu, 07 September 2014

Seputar Panggilan Rangkayo di Minangkabau

OLEH Anas Nafis
Rangkayo Rasuna Said
Barangkali ada faedahnya, kalau kita memperbincangkan panggilan Rangkayo, yang biasanya dilekatkan pada kaum perempuan yang sudah bersuami dalam kultur budaya Minangkabau.  
Sebagai contoh, waktu masih gadis ia bernama Jamilah. Setelah bersuami ia dipanggil orang Rangkayo Jamilah. Demikian pula encik Rasuna Said, setelah bersuami disebut Rangkayo Rasuna Said. Namun demikian banyak pula yang menyebutnya Encik Rasuna Said.
Selain kata sebutan “rangkayo” untuk kaum perempuan di atas, banyak pula kaum laki-laki bergelar rangkayo, misalnya (alm) Rangkayo Ganto Suaro yang berasal dari Nagari Pilubang – Pariaman.
Sebagai diketahui panggilan di Luhak Nan Tigo Lareh Nan Duo kepada seorang Penghulu ialah Datuk, sebab Datuk itu adalah gelar bagi seorang Penghulu di Alam Minangkabau.

Senin, 25 Agustus 2014

Tuanku di Ulakan Syekh Burhanuddin

OLEH Anas Nafis

Masuknya Agama Islam ke suatu daerah yang tidak didukung bukti-bukti yang baik, mustahil dapat dijadikan catatan sejarah secara meyakinkan.
Di jaman dahulu bila seorang ulama berhasil atau jauh lebih baik dalam mengajar dan mendidik ummat dari para pendahulunya, baik yang sudah meninggal ataupun semasa hidupnya, tidak saja dianggap ulama besar, makamnya pun ramai dikunjungi orang, bahkan dikeramatkan.
Demikian pula anggapan masyarakat terhadap Syekh Abdurrauf Singkel Aceh dan Syekh Burhanuddin yang disebut pula "Tuanku Di Ulakan Pariaman".

Minggu, 24 Agustus 2014

Nama yang Tidak Layak bagi Bangsa Indonesia

OLEH Anas Nafis
Sungguhpun nama Indonesia “orang bule” yang menemukan, namun di jaman penjajahan dulu Pemerintah Belanda yang juga “bule-bule” enggan mendengar apalagi memakainya. Mereka lebih suka memakai kata Inlanders, Inheemse (Bumi Putera) atau Bevolking van Nederlandsch Indie (penduduk Hindia Belanda).
Tuan Kreemer dalam “Het Koloniaal Weekblad” tahun 1927, mengatakan nama Indonesia itu dianjurkan atau didorong pemakaiannya oleh orang-orang pergerakan komunis dan ulah orang-orang pers.

Kamis, 21 Agustus 2014

Tugu Jong Sumatranen Bond

OLEH Anas Nafis
Di jaman penjajahan Belanda dulu, ada tiga tugu yang menarik perhatian masyarakat kota Padang. Ketiga tugu tersebut ialah:
1.          Tugu peringatan mengenang Luitenant Kolonel A.T. Raaff,
2.         Tugu peringatan mengenang Generaal Majoor A.F. Miechiels,
3.         Tugu peringatan berdirinya Jong Sumatranen Bond.

Peresmian Tugu Jong Sumatranen Bond di Padang pada 6  Juli 1917

Dikatakan menarik perhatian oleh karena buatan dan pemeliharaannya yang baik, lagi pula letak ketiga tugu itu di kawasan elite pula.
Tugu pertama tempatnya di Plein van Rome di lapangan depan Balaikota sekarang dan yang kedua di Taman Melati sekarang. Sedangkan yang ketiga yaitu tugu Jong Sumatranen Bond (Persatuan Pemuda Sumatera) yang sampai sekarang masih ada, yaitu di segi tiga jalan di ujung kiri Taman Melati didekat gedung sekolah Roomsche Katholiek di sebelah selatan Oranje Hotel (Hotel Muara sekarang). Masa ini dua tugu yang disebutkan terdahulu sudah tidak ada lagi, karena dirobohkan oleh Pemerintah Militer Jepang.

Senin, 20 Januari 2014

Nanggalo

OLEH Anas Nafis

Pada tahun 1894 beredar sebuah buku bertulisan Arab – Melayu yang membuat heboh masyarakat adat kawasan ini.
Buku berbahasa Melayu campur Minangkabau itu ialah karangan Syekh Ahmad Khatib yang dicetak di Kairo, berjudul “Al-Manhadj al-Masyru’ Tarjamat al-Da’I, al-Masnui … “.
Dalam buku tersebut ia melampiaskan amarahnya kepada orang Minangkabau yang  mengaku Islam, namun berpusaka kepada kemenakan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan dikatakan “orang yang tidak berakal” dan sebagainya.

Kamis, 16 Januari 2014

TAHUN 1946: Babak Baru Pemerintahan Nagari Minangkabau

OLEH Anas Nafis
Nagari Sumpur-Antara
Di awal revolusi tahun 1945, bentuk atau susunan pemerintahan di nagari-nagari Minangkabau masih seperti di jaman penjajahan Belanda juga, yaitu Kerapatan Nagari yang anggotanya terdiri dari para Penghulu.
Perubahan baru terjadi sejak Negara Republik Indonesia mulai diatur, yaitu tidak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan diumumkan. Bermula dengan turunnya instruksi Presiden tanggal 22 Agustus 1945 tentang pembentukan Komite Nasional Indonesia.
Kemudian turun pula dekrit pemerintah tanggal 3 Nopember 1945 yang ditanda-tangani Wakil Presiden tentang mendirikan partai-partai di negeri ini yang disambut hangat oleh masyarakat.

Rabu, 15 Januari 2014

Kepatuhan Orang Minangkabau Terhadap Undang-Undang


OLEH Anas Nafis
Karena sangat setia pada sifat-sifat nenek moyang mereka, orang Minangkabau sangat keras kepala dan sulit sekali untuk diyakinkan. Terhadap penghinaan mereka tidak mudah melupakan dan secara diam-diam selalu berusaha membalas dendam terhadap nyawa dan harta. Terhadap teguran dan hukuman mereka tidak pernah merasa dendam.
Itu antara lain cerita yang dimuat oleh Encyclopaedie van Nederlandsch Indie tahun 1918.
Misalnya, jika seorang Minangkabau membuat kesalahan, ia menerima hukuman atas kesalahannya itu. Demikian pula teguran atas kelalaian yang dilakukan, ia menerimanya. Jadi tidak ada dendam, sebab dihukum atau mendapat teguran itu adalah akibat dari kesalahan sendiri.

Mengenang Wali Kota Pejuang Bagindo Aziz Chan

OLEH  Anas Nafis

 PENGANTAR

Enam tahun yang lalu yakni di bulan Juli tahun 1999 tulisan mengenai Bagindo Aziz Chan ini telah diturunkan Harian Singgalang, namun karena banyaknya pertanyaan mengenai sepak terjang beliau yang disampaikan kepada penulis, ada baiknya disampaikan kembali juga melalui harian yang sama. 
Asli tulisan berasal dari majalah resmi pemerintah “Madjalah Penerangan Sumatera Tengah” No. 112, 15 Djuli 1953, tahun IV dengan judul tulisan “PAHLAWAN NASIONAL AZIZ CHAN”.
Melihat judul tulisan di atas serta suara-suara yang berkembang belakangan ini agar beliau diusulkan sebagai “Pahlawan Nasional”, hemat penulis sebelum permintaan itu disampaikan, ada baik diteliti terlebih dahulu mengapa sampai ada judul majalah pemerintah tahun 1953 itu seperti demikian.
            Selamat membaca !

Padang Juli 2005
Anas Nafis
<a href="http://962b2kncnry4uua-zn3oysrpuj.hop.clickbank.net/" target="_top">Click Here!</a>

Rabu, 23 Oktober 2013

Perempuan dan Dewan Minangkabau

OLEH Anas Nafis
Pengantar
Pada tahun 1945, di Bukit Tinggi ada seorang dokter wanita pribumi. Orang menyebutnya Dokter M. Thomas. Di jaman penjajahan Belanda dulu, selain sebagai dokter, ia juga duduk sebagai pengurus S.K.I.S. (Serikat Kaum Ibu Sumatera). Barangkali ia satu-satunya kaum perempuan yang mengecap pendidikan tinggi di jaman penjajahan dulu.
Sekarang tahun 2005, jadi enam puluh tahun kemudian, situasi sudah jauh berbeda. Entah sudah berapa ratus atau mungkin juga ribuan kaum perempuan yang meraih gelar kesarjanaan.

Asal Usul Nama Indonesia dan Merdeka



OLEH Anas Nafis


Sungguhpun nama Indonesia “orang bule” yang menemukan, namun di jaman penjajahan dulu Pemerintah Belanda yang juga “bule-bule” enggan mendengar apalagi memakainya. Mereka lebih suka memakai kata Inlanders, Inheemse (Bumi Putera) atau Bevolking van Nederlandsch Indie (penduduk Hindia Belanda).
Tuan Kreemer dalam “Het Koloniaal Weekblad” tahun 1927, mengatakan nama Indonesia itu dianjurkan atau didorong pemakaiannya oleh orang-orang pergerakan komunis dan ulah orang-orang pers.

Selasa, 01 Oktober 2013

Anak Pisang-Induak Bako

OLEH Anas Nafis

Pengantar

Masa ini terutama di perkotaan adat beranak pisang induak bako1 ini boleh dikatakan sudah menghilang. Penyebabnya antara lain ialah tanah tempat menanam bawaan induak bako seperti anak pohon pisang, bibit kelapa atau pun untuk memelihara ayam-itik maupun sapi dan kambing, boleh dikatakan sudah tidak ada lagi. Jamah telah beralih, musim telah berkisar, kata peribahasa.
Namun demikian inti dari adat baranak pisang barinduak bako ini cukup menarik, karena di Minangkabau dahulu setiap kelahiran bayi senantiasa diikuti oleh penambahan bahan makanan yang ujung-ujungnya tabungan bagi sang sang anak.

Rabu, 18 September 2013

Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah

OLEH Anas Nafis
UNGKAPAN yang banyak disebut di Sumatera Barat ialah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah; Syarak Mangato, Adat Mamakai dan Tuah Sakato - Cilako Basilang.
Di antara ketiga ungkapan di atas yang pertama, yakni “Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi1 Kitabullah” yang paling banyak disebut, ditulis di media, didiskusikan, diseminarkan, baik di Sumatera Barat sendiri maupun di perantauan. Bahkan orang bukan Minangkabau pun mengenal pula ungkapan tersebut.
Kalau yang ketiga yaitu “Tuah sakato, cilako basilang”, telah ada juga sejak lama dan disebutkan pula dalam buku tambo terkenal hikayat Cindua Mato. 
Keterangan: Batu sandi (sendi) rumah jaman dulu ialah batu alam yang digeletakkan begitu saja di atas tanah tempat tonggak atau tiang rumah didirikan. Jadi tidak sama dengan pondasi pengertian sekarang.

Sabtu, 14 September 2013

Makam Datuak Parpatiah Nan Sabatang


OLEH Anas Nafis
(http://penuliscemen.com/socialmediasumbar/)
Makam Datuak Parpatiah Nan Sabatang
SUATU hari pada tahun 1959, saya bersepeda ke Lubuk Basung bersama Wahdi Halim. Setelah melewati Desa Gasan Kaciak, tampak di sebelah kanan jalan sebuah pondok. Pondok itu lebarnya tidak lebih dari tiga setengah meter, beratap rumbia, dinding tadia (anyaman bambu) berlantai pelupuh. Di lantai dari bahan bambu ini duduk seorang wanita tua bersama seorang gadis kecil.
“Itu Siti Manggopoh” ujar Wahdi. Saya mengangguk-angguk sembari mengayuh sepeda melanjutkan perjalanan.
Kembali dari Lubuk Basung saya singgah di pondok tersebut bersama Sersan Mayor Mukhtar BODM Pakandangan. Sedangkan Wahdi telah lebih dulu kembali ke Gasan Gadang. Ketika itu kami berbicara keras-keras dengan Ibu Siti, karena pendengaran beliau sudah mundur. Itu cerita tahun 1959.

Jumat, 13 September 2013

Tentang Anas Nafis

Redaksi: Ruang ini sebagai ruang yang didedikasikan untuk budayawan Anas Nafis. Tulisannya ini akan diturunkan secara berkala di sini. Salam
Anas Nafis lahir di Padang Panjang, 9 Januari 1932, meninggal dunia di Padang, 18 April 2007 pada umur 75 tahun. Anas Nafis adalah seorang peneliti, akademisi, seniman, budayawan dan tokoh Sumatera Barat. Anas Nafis sendiri adalah adik dari sastrawan Ali Akbar Navis (AA Navis). Bapaknya bernama Navis gelar Sutan Marajo, seorang pegawai Staatsspoorwegen (jawatan kereta api zaman Belanda), dan ibunya bernama Sawiyah. 

Tentang Anas Nafis, bisa juga dibaca di Anas Nafis Referensi Berjalan

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...