Tampilkan postingan dengan label POLEMIK SASTRA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label POLEMIK SASTRA. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 19 Oktober 2013

POLEMIK SASTRA SUMATRA BARAT: Beban Berat Kritikus Sastra



OLEH Heru Joni Putra
Mahasiswa Sastra Inggris FIB Unand


Heru Joni Putra dan Agus Hernawan
Setiap ada tulisan perihal kritik sastra, tak jarang muncul polemik, baik itu yang mempermasalahkan langkanya kritikus sastra, karya kritik yang tidak layak,  ataupun yang mempertanyakan peran akademisi sastra sebagai kritikus sastra.
Setidaknya hal tersebut selalu menjadi bahan pembicaraan yang tak dapat dihindarkan. Tetapi tetap saja tak ada muncul kritikus yang diharapkan—(sebenarnya penggunaan kata “diharapkan” di sini pun agak meragukan bagi saya, karena harapan sastrawan sebagai produsen karya sering tak sesuai dengan harapan kritikus), sehingga polemik-polemik mengenai kritik sastra terus berlanjut sampai sekarang dan bahkan merembes ke masalah lain.

POLEMIK SASTRA SUMATRA BARAT: Sastrawan yang Baik sama dengan Kritikus yang Baik




OLEH Andhika Dinata
Penulis Buku Taufiq Ismail di Mata Mahasiswa

Andhika Dinata
Ada yang bertanya. Ada yang menjawab. Ada yang mengkritik. Ada yang mengulas. Tanya-jawab, kritikan, ulasan menjadi buah pena yang lazim dari suatu kritik sastra. Seorang kritikus tidak disebut “kritikus” apabila ia tidak mampu mengkritik. Begitu juga sebaliknya, seorang kritikus tidak akan dapat pula disebut “kritikus” apabila ia tidak “berbesar hati” untuk dikritik. Budaya kritik-mengkritik dalam konteks -kritik sastra- memang harus terus berkembang menjadi siklus eksistensi yang tidak boleh padam.
Tidak berbeda halnya dengan sastrawan, kritikus sastra juga berasal dari rahim dan proses kreatif yang hampir sama. Ia bukan (lah) lahir secara kebetulan, tetapi ia lahir dan tumbuh lewat embrio perdebatan, diskusi dan juga polemik. Seorang sastrawan secara kebetulan atau tidak akan menjadi kritikus sastra–setidaknya buat karyanya sendiri, tidak jarang juga mereka (sastrawan) juga mengulas karya orang lain.

RESPONS TERHADAP TULISAN ROMI ZARMAN: Terapi Autisme Kesastraan



OLEH Esha Tegar Putra
Dosen di Universitas Bung Hatta Padang 
Esha Tegar Putra
A Moment To Remember, film drama Korea (2004), sutradara John H Lee adalah peristiwa yang sedikit dekat dengan penuturan tulisan Romi Zarman (Autisme Kesastraan”, Harian Haluan, Minggu 27 Februari 2011). Dalam A Moment To Remember, seorang laki-laki dihadapkan pada kenyataan, harus menerima kekasihnya divonis berpenyakit alzheimer.
Perlahan, si kekasih hilang ingatannya, sampai ia lupa pada diri sendiri. Tokoh laki-laki berusaha mengingatkan, melalui potret-potret romantis masa lalu, catatan-catatan kecil pada kulkas, meja, pintu, di mana si kekasih bisa mengingat dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya. Usaha itu membuahkan hasil, si kekasih mengingat hari lalu, hari depan pun tampak bagi mereka berdua. Yang paling berharga di kisah ini, tentunya cinta dan sejarah, kenangan dan ingatan.

Sabtu, 12 Oktober 2013

POLEMIK SASTRA SUMATRA BARAT: Autisme Kesastraan


OLEH Romi Zarman
Pengarang

Romi Zarman
Autistik adalah kata yang tepat untuk esai Darman Moenir (Harian Haluan Minggu, 23 Januari 2011). Saya katakan autistik karena keterbatasan komunikasi yang dibangunnya. Keterbatasan itu terlihat ketika ia hanya mampu membangun komunikasi dengan “dirinya sendiri”, sehingga tak mengherankan kenapa baginya hanya Wisran Hadi satu-satunya pengarang dari Sumatra Barat yang karyanya terpilih dalam empat naskah terbaik sayembara novel DKJ 2010. Padahal, selain Wisran Hadi juga ada Hendri Teja asal Pariaman yang naskahnya juga masuk dalam empat naskah terbaik tersebut. Parahnya lagi, keterbatasan itu justru dimaknai dari sisi yang kurang tepat oleh tiga penanggap awal.
Pemaknaan yang dilakukan oleh Delvy Kurnia Alamsyah (Harian Haluan, Minggu (30 Januari 2011), Sudarmoko dan Elly Delvia (Harian Haluan, Minggu, 6 Februari 2011), dan Muhammad Subhan (Harian Haluan 13 Februari 2011), justru memunculkan autistik baru. Autistik itu terlihat dari masing-masing esai Sudarmoko dan Kurnia Alamsyah yang berpretensi membersihkan kesastraan dari arogansi dan politik kanonisasi. Esai Muhammad Subhan sendiri lebih tepat disebut sebagai kengawuran standarisasi atas kebermutuan karya yang dilihatnya dari laris atau tidaknya suatu karya. Efek atas autistik sebelumnya pun jadi terluputkan. Apa yang terluputkan dari esai Darman Moenir bitu adalah generalisasi standar penilaian Darman Moenir atas kebermutuan karya. Semestinya Darman Moenir melakukan kategorisasi berdasarkan generasi pengarang, bukan asal main “pukul rata” saja.

Mutu Karya Sastra Sumbar 30 Tahun Terakhir

OLEH DARMAN MOENIR

Satu
TEMA Menyoal Kebermutuan Karya Sastra Sumatera Barat membingungkan. Apalagi, lebih khusus, judul Mutu Karya Sastra Sumatera Barat 30 Tahun Terakhir.
Adakah karya sastra Sumatera Barat? Saya lebih tertarik menyebut karya sastra Indonesia, ditulis dalam bahasa Indonesia, oleh sastrawan yang berasal dari Sumatera Barat atau Minangkabau. Sumatera Barat jadi risalah ketata-negaraan, dan Minangkabau adalah masalah etnik(al). Chairil Anwar adalah penyair besar dan penting Indonesia biarpun dia berasal dari Taeh Baruah, Payokumbuah. Begitu juga Abdoel Moeis, novelis modern sastra Indonesia, lahir di Sungai Pua, Agam.
Pula, menulis dengan tema itu tidak memungkinkan saya tidak menyebut diri sendiri. Saya sejak awal, sejak berusia 18 tahun, memang terlibat dan melibatkan diri dalam dunia sastra, menulis beberapa puisi, cerpen, cerita anak, novel, esai dan kritik sastra, bahkan mengerjakan terjemahan (dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia). Menilai diri sendiri saya hindari benar sejak dulu. Itu narsisisme! Itu perbuatan memalukan, sering jadi bahan tertawaan.
 
Ini makalah yang dibawakab Darman Moenir dalam Dialog Sastra di Taman Budaya Sumbar (Kamis, 10 Oktober 2013)

Sastra Sumbar Bangkit, 5 Tahun Muncul 50 Buku Sastra

PADANG – Bagaimana mutu karya sastra Sumbar saat ini? Itulah pertanyaan yang diapung kan dalam acara Dialog Sastra bertema ‘Menyoal Kebermutuan Karya Sastra Sumbar’ di Taman Budaya Padang, Kamis (10/10).
Tiga sastrawan Sumbar hadir sebagai narasumber, Darman Moenir, Zelfeni Wimra dan Romi Zarman. Para peserta diskusi pun sastrawan dan penikmat sastra se-Sumbar. Mereka menyampaikan pandangan masing-masing tentang mutu karya sastra Sumbar saat ini.
Sastrawan dan Budayawan, Darman Moenir mengatakan Sumbar tak pernah miskin karya sastra. Dalam lima tahun terakhir sudah terbit lebih dari 50 buku sastra yang ditulis pengarang asal Sumbar. Yang terbaru sebut saja Novel ‘Gadis Berbudi’ karya Irzen Hawer. Ada pula novel ‘Karnoe, Sejarah Tak Tertulis di Balik Nama Besar’ karya Jombang Santani Khairen. Beberapa lagi novel karya Jose Rizal, Zaili Asril, Wisran Hadi, Khairul Jasmi, A. Fuadi, Raflis Chaniago, Akmal Nasery Basral, Asye Saidra, Nang Syamsuddin, Mustafa Ibrahim dan beberapa pengarang lain.

 

Mutu Karya Sastra Sumatera Barat 30 Tahun Terakhir Dipertanyakan

Dialog Sastra di Taman Budaya (10/10/13) Foto Dakwatuna
dakwatuna.com – Padang. Sastrawan Sumatera Barat Darman Moenir kembali mempertanyakan mutu karya sastra Sumatera Barat 30 tahun terakhir. Sepanjang 30 tahun itu, menurut Darman Moenir, karya-karya sastra yang terbit di Sumatera Barat “tidak ada” yang bermutu. 

Pernyataan Darman Moenir itu disampaikannya dalam kegiatan Dialog Sastra bertajuk “Menyoal Kebermutuan Karya Sastra Sumatera Barat” yang digelar UPTD Taman Budaya Sumatera Barat, Kamis (10/10), di Galeri Seni Rupa Taman Budaya Sumatera Barat di Padang. Diskusi itu dihadiri kalangan sastrawan, seniman, budayawan, akademisi, pengamat sastra, dan sejumlah penulis muda.

P0LEMIK SASTRA SUMATRA BARAT: TANGGAPAN DARMAN MOENIR


Menulis Novel “Kerja” Kreatif!
OLEH Darman Moenir
Sastrawan

MENULIS karya sastra, dalam hal ini, novel, pada hkreatifakikatnya adalah “pekerjaan” (di antara tanda petik) . Setelah Allah SWT menciptakan laut maka manusia membuat garam. Setelah Allah SWT menciptakan kapas maka manusia menenun kain. Setelah Allah SWT menciptakan eter, maka manusia mengadakan komunikasi maya. Dan setelah Allah SWT menciptakan alat bicara dan kata dan bahasa (juga bahasa Indonesia), maka manusia mengadakan bahasa tulis, penyair menciptakan puisi, novelis menciptakan novel. Mencipta melalui pemberian yang Mahakuasa itu adalah kreativitas!
Sekali garam terbentuk, sekali kain tertenun, dan sekali internet terujud, maka kreativitas itu berubah menjadi produktivitas. Pembuat garam, penenun dan pembuat piranti dunia maya berikut hanya mengulang atau melanjutkan apa yang dikerjakan pendahulu. Tidak lebih, tidak kurang. Begitu pula, menulis Salah Asuhan (1928), merupakan pencapaian luar biasa Abdul Muis. Siapa pun yang kemudian menulis seperti yang dilakukan Abdul Muis takkan menghasilkan novel bermutu. Sekali lagi, bermutu, satu kata yang saya pinjam dari Suryadi, yang sekarang berada di Negeri Belanda.

Selasa, 08 Oktober 2013

Polemik Sastra Sumatra Barat Menjalar ke Facebook


Berikut ini kami turunkan komentar-komentar para pegiat sastra di ruang jejaring sosial semenjak dibukanya polemik terhadap tulisan Darman Moenir di ruang ini satu setengah bulan lalu, tentu dengan penyuntingan. Selain itu pula—juga hangat jadi perbincangan di  Facebook—tentang “diangkatnya” sebagai laporan khusus sastra di rubrik Rona harian Koran Jakarta polemik ini tanpa mencantumkan sumbernya sehingga menuai kritik pula.
Ruang ini memang dikesankan sebagai ranah dialektis untuk kita bersama tanpa tendensi tentunya. Setiap tulisan, dinilai sebagai respons positif untuk kemajuan kultural. Memang, saatnya kita merawat dan merayakan berpikir dialektis dan merdeka.

POLEMIK SASTRA SUMATRA BARAT: Kelangkaan Kritikus dan Peneliti Sastra



OLEH Nelson Alwi
Budayawan tinggal di Padang
                                       
Nelson Alwi
TAK terbantahkan, dengan tulisan berjudul 30 Tahun Terakhir Tak Ada Novel Bermutu dari Sumatra Barat (Harian Haluan, Minggu (23 Januari 2011) Darman Moenir berhasil menggugah gairah sejumlah intelektual untuk penulis esai sastra sekaligus mempublikasikannya di harian kesayangan ini. Semangat mereka semoga dapat dipelihara dan semakin menyala-nyala, menyinari aktivitas berkesusastraan, terutama di daerah tercinta ini.
Dan kini, pada gilirannya masalah langkanya kritikus (baca: kritikus dan peneliti) sastra di daerah ini pun ditaja menjadi tema yang seyogianya dibahas. Sebab, menurut redaktur ”Kultur” Harian Haluan: ”... karya-karya yang lahir dari rahim sastrawan Sumatra Barat —baik berupa cerpen, puisi maupun novel— tak terpindai secara cermat dan hanya menghuni rak-rak buku tanpa perbincangan yang dialektis dan dalam”.

Kamis, 03 Oktober 2013

POLEMIK SASTRA SUMATERA BARAT: Biarkan Pembaca yang Menjadi “Hakim”



OLEH Muhammad Subhan
Penikmat Sastra, Bergiat di Komunitas Sastra Rumah Kabut Padang Panjang

TULISAN Darman Moenir berjudul “30 Tahun Terakhir Tak Ada Novel Bermutu dari Sumatra Barat” (Harian Haluan, Minggu, 23 Januari 2011) memicu polemik di koran ini. Respons pertama muncul dari Devy Kurnia Alamsyah yang mengaku bukan sastrawan di dalam tulisannya berjudul “Arogansi Sastra Kanon” (Haluan, Minggu, 30 Januari 2011). Disusul tulisan Sudarmoko pekan lalu berjudul “Sedikit Gambaran Sastra Indonesia di Sumatra Barat, Tanggapan Terhadap Tulisan Darman Moenir dan Devy Kurnia Alamsyah” (Haluan, Minggu, 6 Februari 2011), serta tulisan Elly Delfia, Dosen Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang di hari yang sama berjudul “Bahasa Cermin Kebermutuan Karya Sastra dan Pengarang”.

Minggu, 29 September 2013

POLEMIK SASTRA SUMATRA BARAT: Sedikit Gambaran Sastra Indonesia di Sumatra Barat


OLEH Sudarmoko
Universitas Leiden

Sudarmoko
Sepanjang sejarahnya, Sumatra Barat menjadi bagian yang penting dari sedikit daerah di Indonesia yang dalam segi jumlah memberikan pengaruh penting dalam kesusastraan. Hingga tahun 1977, kehidupan sastra Indonesia modern di Sumatra  Barat dicatat dengan baik oleh Nigel Phillips dalam artikelnya di Indonesia and the Malay World (Vol. 5(12): 26-32),”Notes on Modern Literature in West Sumatra”. Dalam catatan yang dibuat di sela-sela penelitiannya tentang sastra lisan, terutama Si Jobang yang sudah diterbitkan, ia mencatat sejumlah pencapaian dan sastrawan Sumatra Barat.

Selasa, 17 September 2013

POLEMIK SASTRA SUMATERA BARAT: Bahasa Cermin Kebermutuan Karya Sastra dan Pengarang


OLEH Elly Delfia
Dosen Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang

Elly Delfia
Perkembangan kesusasteraan di Sumatra Barat tentu tak bisa dilepaskan dari perkembangan bahasa. Bahasa merupakan medium yang menentukan kesuksesan sebuah karya sastra. Pengunaan bahasa yang baik dan pemilihan diksi yang tepat menjadi ukuran penilaian sukses tidaknya sebuah karya sastra.
Demikian juga dengan penilaian dewan juri terhadap Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang digelar pada tahun 2010 lalu. Penggunaan bahasa dengan kekompleksitasannya nan mengagumkan sebagai buah kreativitas pengarang menjadi penilaian dewan juri untuk menentukan bermutu atau tidaknya sebuah karya sastra, dalam hal ini novel. Kemudian, dalam dunia kepenulisan, bahasa melabeli penciptanya dengan sebutan pengarang.
Dengan bahasa pula, Darman Moenir dan Devy Kurnia Alamsyah menulis artikel yang cukup menggugah hati. Artikel yang memperdebatkan novel-novel yang ditulis oleh para pengarang yang berasal dari Sumatra Barat. Artikel Darman Moenir dengan judul, “30 tahun Terakhir Tak Ada Novel Bermutu dari Sumatra Barat (Harian Haluan, Minggu, 23 Januari 2011) dan disahuti dengan artikel berikutnya oleh Devy Kurnia Alamsyah dengan judul, “Arogansi Sastra Kanon” (Harian Haluan, Minggu, 30 Januari 2011).

Jumat, 13 September 2013

POLEMIK SASTRA: Arogansi Sastra Kanon


OLEH Devy Kurnia Alamsyah
Bukan Sastrawan

Devy Kurnia Alamsyah
APA jadinya jika Dewan Juri memilih memenangkan Hendri Teja ketimbang Wisran Hadi? Sudah tentu ia akan bereaksi akan itu. Novel Hendri Teja yang berjudul “Memoar Alang-alang” ini diilhami oleh tokoh faktual Tan Malaka dengan latar belakang pergerakan nasionalisme di era pemerintahan kolonial Belanda.
Tumbuh kembangnya dunia kesusastraan di Indonesia tak bisa lepas dari institusi-institusi yang menaungi dunia kesustraan itu sendiri. Bahkan, ketika Indonesia belum berdiri, di era Hindia Belanda peran Balai Pustaka sangat mengambil peran—terutama dalam menentukan karya sastra. Kenapa ini menarik, karya-karya di luar Balai Pustaka dinilai sebagai karya liar dan ketika karya itu diterima oleh khalayak luas maka akan muncul cap roman picisan terhadap karya liar tersebut.
 Ini menjadi tonggak dasar labelisasi karya sastra bermutu dan tidak. Salah satu karya yang disebut roman picisan itu adalah Pacar Merah Indonesia yang ditulis oleh Matu Mona (nama samaran Hasbullah Parindurie).

Kamis, 12 September 2013

30 Tahun Terakhir Tak Ada Novel Bermutu dari Sumatera Barat


Novel Persiden Membawa Warna Baru
OLEH Darman Moenir
Sastrawan
DARMAN MOENIR DAN ISTRI
Tidak ada pemenang utama Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2010. Novel Persiden karya Wisran Hadi dari Padang, Sumatera Barat, menjadi salah satu novel unggulan sayembara itu. Tiga novel unggulan lain adalah Lampuki, Jatisaba, Memoar Alang-alang yang ditulis oleh Ramalda Akmal, Hendri Teja, dan Arafat Nur.
Masing-masing novelis unggulan menerima hadiah 7,5 juta rupiah, dan hadiah 20 juta rupiah yang semestinya diberikan kepada pemenang pertama tak jalan. Pegumuman disampaikan Komite Sastra DKJ selaku panitia pelaksana di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Jumat, (14/1/2011). Dan otoritas penjurian diserahkan sepenuhnya kepada Anton Kurnia, A.S. Laksana, dan Sapardi Djoko Damono.

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...