Tiga Penjemput Saut

OLEH Puthut Ea
Saat akan dibawa polisi ke Jakarta (Dok)
Ketiga polisi itu masih muda. Dua orang mungkin masih di kisaran umur 25 tahun. Sedangkan satu lagi, Sang Pimpinan yang bernama Cepi, mungkin 30an tahun.

Ketiga polisi itu terlihat tertekan ketika makin banyak orang datang di rumah Saut Situmorang. Apalagi ketika wartawan mulai berdatangan. Mereka sempat pamit sebentar untuk makan siang dan salat di masjid terdekat. Tapi begitu balik lagi, terlihat makin tertekan karena makin banyak kawan Saut yang datang.

Mereka bertiga menjadi kikuk. Tekanan mengarah ke ketiga polisi itu. Mulai dari memotret, bertanya, menyindir, dan seterusnya. Apalagi ada kawan Saut dari Kotagede yang bawaannya pengen memakan ketiga polisi tersebut.

Saya sendiri lebih sering mencandai ketiga laki-laki yang mulai kikuk tersebut. Selain supaya suasana lebih rileks juga saya mau mengingatkan ke kawan-kawan yang berkumpul kalau persoalan kita bukan dengan ketiga polisi itu, tapi ke soal Fatin Hamama dan orang di belakangnya.

Tapi tetap tekanan mengarah ke ketiga polisi itu. Sampai akhirnya muka mereka terlihat pucat ketika Cepi mendapatkan telepon. Sepertinya dari pimpinan mereka. Tidak lama kemudian mereka sibuk memgecek gajet yang sejak lama menjadi objek pelampiasan rasa tak nyaman. Ketiga polisi itu lantas saling berbisik dan mendadak menjauh dari orang-orang yang mengumpul di depan rumah Saut.

Salah seorang di antara mereka lalu meminta Iwan Pangka, pengacara Saut, untuk berembuk dengan mereka bertiga. Sekira 10 menit mereka berbincang, Bang Iwan memanggil saya masuk ke rumah Saut. Dia bilang kalau polisi meminta agar kami mengijinkan membawa Saut lebih dulu ke stasiun. Alasannya, tidak enak dengan tetangga-tetangga Saut yang juga mulai bergerombol di depan. Alasan kedua, para polisi itu tidak nyaman karena foto-foto mereka banyak sekali muncul di media sosial.

Saya tidak keberatan. Tapi keputusan ada di tangan Saut. Penyair gimbal itu awalnya masih ngotot ingin diperiksa di rumah, akhirnya saya bisiki dia supaya mengikuti saja proses hukumnya. Soal nanti urusan panjang dengan Fatin dan rezim uang di belakangnya, pasti menjadi prioritas banyak orang. Saut setuju.

Ketiga polisi itu akhirnya masuk lagi dengan wajah makin grogi ke dalam rumah Saut. Kemudian mereka mengulang penjelasan Bang Iwan. Kami bilang, oke intinya kami setuju, silakan bawa Saut ke stasiun tapi tetap beberapa orang akan ikut ke sana. Soal mereka yang keberatan jika ada banyak orang di situ, kami bilang wajar saja, ini kan bentuk solidaritas kawan-kawan Saut. Cepi cepat menyahut, "Tapi jangan begini, dong..."

"Begini bagaimana?" sahut saya.

"Ya Anda sudah dewasa lah, tahu yang saya maksud."

"Saya tidak tahu. Anda yang harus tahu. Semua orang yang datang mengerti kalau Anda ini hanya menjalankan tugas. Dari tadi Anda kan mendengar semua wawancara, mendengar banyak obrolan, tidak ada yang menyalahkan pihak kepolisian, kan?"

Cepi tidak bisa menjawab. Wajahnya terlihat makin melas.

Saut sudah siap. Wajahnya yang kelelahan mulai terlihat sumringah. Ketiga polisi itu bangkit dan beranjak pergi. Muka mereka menunduk karena orang-orang yang semula duduk-duduk begitu Saut mau pergi, semua berdiri dan mendekat ke arah Saut, tentu sambil memotret dengan gajet mereka masing-masing.

Ketiga polisi itu menunggu Saut di ujung gang ketika ada doa bersama sebentar yang dilakukan di depan rumah Saut. Sambil melangkah pergi, Saut sempat melempar pertanyaan bernada canda, "Di kantor polisi ada bir, gak?"

Saya lupa. Mestinya Saut menyempatkan membaca puisi sebelum pergi bersama polisi.


Diambil dari Akun Facebook Puthut Ea

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...