Rabu, 12 November 2014

Kapur IX Mengusik Nyali Kepemerintahan

OLEH H. Fachrul Rasyid HF
Wartawan Senior
Masyarakat Kapur IX bergotong royong (anakama06.blogspot.com)
Berkunjung ke Nagari Sialang dan Gelugur Kecamatan Kapur IX sungguh menggugah  perasaan kemanusian dan nyali kepemerintahan. Inilah yang dirasakan saat menyertai rombongan safari Ramadan Bupati Limapuluh Kota Dr. Alis Marajo bersama sejumlah pejabat kepala satuan kerja pemerintah daerah setempat ke perbatasan Sumatera Barat dan Riau itu, Sabtu 20 Aguastus 2011 lalu.

Berkendaraan dari Pangkalan Koto Baru ke Muara Paiti ibu kecamatan Kabupur IX  (34 km) terus ke Koto Bangun dan Durian Tinggi (9 km) terbilang nyaman. Maklum, meski agak sempit jalan provinsi ini masih mulus. Namun dari Durian Tinggi ke Sialang (3 km) kondisinya mulai parah. Di sepanjang jalan roda kendaraan hanya menginjak sisa aspal dan genangan air di lobang yang mirip danau-danau kecil. Tapi tak lama lagi ruas ini segera berubah karena kini sedang dilakukan perbaikan saluran dan bahu jalan oleh Dinas Prasarana Jalan Tataruang dan Pemukiman (Prasja Tarkim) Sumatera Barat.
Namun perjalanan berikutnya dari Sialang ke Gelugur melintasi daerah berbukit-bukit sejauh 24 km perlu ekstra hati-hati. Bukan hanya tanjakan dan turunannya tajam yang membuat gamang tapi kondisi jalannya pun amat parah. Di beberapa tempat jalan terbelah-belah saluran air hujan karena salurannya sendiri sudah lama buta. Meski hampir semua jembatan sudah terbuat dari rangka baja namun di beberapa titik cuma menyisakan bekas pengerasan dan coran beton awal pertama jalan ini dibuka sekitar tahun 1998 silam.
Begitupun sudah ada harapan perbaikan. Rencananya Dinas Prasja dan Tarkim Sumatera Barat tahun depan akan merekonstruksi dan melakukan pengerasan jalan dengan biaya sekitar Rp17 miliar. Kepastian itu disampaikan pejabat Limapuluh Kota saat berdialog dengan warga di Masjid Jorong Mongan Gelugur dan warga di Masjid Sialang. Katanya, perbaikan jalan ini mendapat prioritas karena mendukung rencana penempatan sekitar 100 kk warga transmigrasi korban gempa 30 September 2009 di Nagari Gelugur.
Mengusik Keprihatinan
Jalan raya memang merupakan urat nadi ekonomi. Toh, kalaupun Dinas Prasja dan Tarkim Sumatera Barat memuluskan jalan raya sepanjang Kapur IX, agaknya tak otomatis membuat perekonomian dan kesejahteraan sekitar 27 ribu rakyat kecamatan ini bisa ditingkatkan. Sebab, yang diperlukan Kapur IX tak sebatas jalan. Masih banyak sektor kehidupan rakyat yang perlu mendapat perbaikan dan pembinaan jajaran Pemda Kabupaten maupun Pemda Provinsi Sumatera Barat.
Lihat saja rumput dan semak sepanjang pinggiran jalan yang menutupi saluran di kiri kanan jalan dan bahkan melebar sampai ke badan jalan. Lihat pula pekarangan rumah penduduk yang tak berpagar dan tanaman pisang, pinang, coklat dan pohon sawit yang tak terawat serta ternak yang berkeliaran semaunya. Nyaris tak ada sebuah pekarangan yang berpagar rapi dengan tanaman yang terpelihara secara teratur dipenuhi tanaman ramuan masakan atau sayur-sayuran sebagai sumber gizi nabati. Sepohon singkong pun sulit ditemukan. Tak aneh jika warga di sini jarang makan sayur dan buah-buahan karena sayur dan buah-buahan didatangkan dari Bukittinggi atau Payakumbuh. Ini cukup jadi bukti bagaimana kondisi kehidupan masyarakat monokultur (mengandalkan ekonomi pada satu jenis tanaman).
Sumber protein hewani, seperti ikan juga termasuk barang mahal di sini. Kecuali beberapa nagari yang memelihara ikan kolam, kebanyak penduduk mengandalkan ikan sungai. Celakanya, ikan sungai ditangkap menggunakan racun serangga sehingga ikan pada punah. Kalau saja petugas Dinas Kesehatan Kabupaten atau provinsi mau mengecek kondisi kesehatan warga, terutama anak-anak, di sini agaknya akan banyak ditemukan anak-anak bergizi buruk.
Padahal warga Kapur IX, apalagi di sekitar Sialang dan Gelugur, bukan pemalas. Mereka malah pekerja keras. Bayangkan betapa mereka menghabiskan waktu dan menguras tenaga merambah hutan membuka ladang gambir, kebun karet, kakao dan sawit. Hanya saja hasilnya amat tak sebanding dengan tenaga, waktu dan  kerusakan hutan yang terjadi. Maklum, selain pengelolaannya yang sangat tradisonal, gambir adalah komoditi yang tak diawasi dan tak memiliki standar kualitas sehingga harganya pun sangat ditentukan negara pembeli, yaitu India, Pakistan dan Banglades. Ketika produksi melimpah harga pun jatuh. Kini harga gambir di sana sekitar Rp12 ribu/kg dari sewajarnya sekitar Rp20 ribu.
Tanaman karet yang menjadi andalan kedua setelah gambir juga belum tersentuh ilmu dan teknik perkebunan. Selain bibitnya yang tak standar pemeliharannya pun seadanya sehingga sulit membedakan antara kebun karet dan hutan belukar di sekitarnya. Bisa dimengerti jika produksi dan kualitasnya rendah. Kini harga karet di Kapur IX cuma sekitar Rp19 ribu dari normal Rp22 ribu.
Masyarakat Kapur IX, apalagi di sekitar Gelugur juga bertanam pohon sawit dan kakao. Namun mereka tampaknya belum paham bahwa sawit dan kakao adalah tanaman industri yang memerlukan perawatan dan pemupukan secara teratur dan terukur. Buktinya, warga memperlakukan sawit dan kakao layaknya tanaman tua, dibiarkan tumbuh apa adanya tanpa disiangi dan tanpa dipupuk layaknya.  Pelepah sawit tak dipangkas dan buahnya tak didodos. Tak aneh kalau pohon sawit yang sudah setinggi dua meter tak berbuah. Keadaannya  mirip pohon enau yang tumbuh liar di hutan.
Nasib tanaman kakao serupa. Pohon kakao yang seharusnya dipangkas dipupuk dan disiangi dibiarkan tumbuh menghadang keadaan. Kalau pun berbuah, buahnya jarang dan kecil. Tak berlebihan kalau usaha rakyat bertanam sawit dan kako terbilang sia-sia. Dan ini cukup jadi bukti bahwa petani di sini belum terjamah penyuluhan dan pembinaan dari petugas dinas perkebunan. Akhirnya, yang terjadi bukan peningkatan kesejahteraan melainkan peningkatan kesengsaraan. Buktinya, bila harga gambir dan karet jatuh ekonomi jadi lumpuh, dan di musim hujan beberapa nagari direndam banjir dan irigasi yang ada, seperti di Durian Tiggi dan Sialang, ikut binasa kdihantam banjir dan longsoran dari perbukitan yang digunduli untuk kebun gambir, karet dan kakao.
Kini perekonomian di Kapur IX terbilang sedang buruk. Hanya Nagari Muara Paiti, Koto Bangun, Durian Tinggi dan Sialang yang punya sedikit areal sawah sehinggga ketahanan pangan mereka sedikit tersanggah. Sementara Nagari Gelugur, berpenduduk 2.200 jiwa dan belum tersentuh listrik, sumber nafkah penduduk tergantung pada gambir dan karet. Saat kini harga karet dan gambir jatuh, warga Gelugur pun  terancam krisis pangan. Soalnya, mereka tak punya setumpak sawah. Sumber berasnya selama ini hanya dari padi ladang. Ladang padi itupun gagal akibat musim kemarau panjang. Padahal, kecuali kayu api, semua kebutuhannya kebutuhan hidup tergantung pasokan beras dari Payakumbuh lewat jalan darat via Sialang  atau lewat jalur sungai dari Subaling Kabupaten Kampar, Riau.
Kini harga beras di Sialang rata-rata Rp9.Limapuluh0/kg dan minyak tanah Rp6 ribu/liter. Karena kendaraan dari Sialang ke Gelugur (sekitar 24 km) mesti menggunakan mobil dobel gardan ongkospun mahal. Ongkos penumpang orang Rp30 ribu/orang dan barang rata-rata Rp600/kg. Bahkan upah angkut kelapa saja Rp600/butir.
Kerpihatinan Kepemerintahan
Secara keseluruhan kondisi kehidupan sosial, ekonomi dan pemerintahan di Kapur IX  masih memprihatinkan, terutama bila dikaitkan dengan misi pemerintahan yang menjadi tugas pokok dinas instansi yang ada. Kalau saja setiap dinas instansi yang ada, baik di provinsi maupun di kabupaten melaksanakan tugasnya secara benar dan sungguh-sungguh, tentulah seluruh sektor kehidupan rakyat akan dapat diperbaiki dan ditingkatkan. Sayang, jangankan  memenuhi tugas dan tanggungjawabnya, berkunjung ke Kapur IX saja, apalagi sampai ke Nagari Gelugur, masih ada pejabat yang belum pernah mencoba.
Maka, tidaklah aneh jika banyak warga yang belum tahu membuat kalkulasi usaha, belum menghayati pentingnya memelihara lingkungan yang sehat, berpekerangan yang sehat dan bersih, menanam dan memakan tanaman sayur-sayuran, bertani dan berkebun yang benar. Tak aneh juga jika rakyat belum menghayati bagaimana memelihara kesehatan yang benar.
Meski nagari-nagari sudah berwalinagari dan perangkat pemerintahan yang defenitif, tapi belum satupun nagari yang mampu membuat tata ruang sehinga nyaris tak satupun nagari yang memiliki jalan poros desa. Akibatnya,  tak jelas mana yang muka (land mark) dan belakang sebuah nagari. Kalau bukan dibedakan bangunan dan pasar, nyaris tak ada bedanya antara kebun dan pemukiman tak jelas mana yang koto dan mana yang kampung.
Dapat dipastikan, kalau saja pejabat Dinas Kesehatan bersama gerakan PKK rajin turun ke Kapur IX, tentulah warga tahu memelihara dan memilih makanan yang sehat dan bergizi. Warga akan tahu membenahi pekarangan yang sehat dan menyehatkan. Kalau saja Dinas Peternakan rajin mendatangi peternak  disini tentulah Kapur IX bisa jadi penghasil ternak yang sehat dan melimpah.
Kalau saja Dinas Perikanan mau meninggalkan mejanya sejenak, tentulah Kapur IX tak harus menunggu ikan kering dari Padang karena sumber air cukup melimpah dan Kapur IX bisa menjadi penghasil ikan air tawar yang andal. Seandainya pejabat dan penyuluh pertanian/perkebunan mau berkubang ke sana tentulah kakao, sawit dan karet yang ditanam rakyat bisa memberikan nafkah yang memadai. Singkat kata kalau saja semua dinas instansi mau mencari pahala, tentulah mereka akan sangat berpahala bila menolong membangun kesadaran dan kehidupan rakyat Kapur IX.
Sayang kepedulian itu belum tumbuh merata. Bahkan lima anggota DPRD Kabupaten Limapuluh Kota asal dari Kapur IX belum dirasakan warga keberadaannya di pemerintahan daerah Kabupaten Limapuluh Kota. Mereka belum tergugah untuk menyerap aspirasi dan menyuarakan kepentingan Kapur IX dalam kebijakan pembangunan daerah ini. Meski demikian, Bupati Alis Marajo tak pernah merasa lelah. Pada priode pertama (2001-2006) setidaknya Alis sudah tujuh kali berkunjung ke Gelugur. Tiga bulan pertama priode kedua jabatannya ia sudah sampai lagi di Gelugur.
Alis tak sekadar melenggang. Ia terus berusaha agar jalan raya ke Kapur IX hingga ke Gelugur terus dapat ditingkatkan. Di samping berharap bisa membuka isolasi dan menyejahterakan rakyat, Alis menaruh harapan Kapus IX bakal punya masa depan yang lebih baik bila jalan raya bisa mempertautkan Kapur IX dengan Kabupaten Kampar, Riau dan Kabupaten Pasaman. Jika jalan itu terwujud dari Kapur IX dengan mudah bisa dijangkau Kota Pasir Pangiraian, terus ke Medan atau Pekanbaru.
Di samping itu Alis juga terus membagi anggaran pembangunan Kabupaten Limapuluh Kota yang masih terbatas untuk sektor kesehatan, pendidikan dan pertanian. Langkah itu mulai nyata. Sebuah puskesmas dengan ruangan rawat inap sudah berdiri di Sialang. Kalau saja fasilitas rawat inap itu sudah lengkap hari-hari ini pasien sekitar Sialang Durian Tinggi dan Gelugur sudah bisa dirawat inap di Puskemas yang megah itu.
 einginan Alis secara bertahap terus disahuti Kepala Dinas Prasja dan Tarkim Sumatera Barat. Jalan raya yang dirintis Bupati Limapuluh Kota, Jufri, 24 tahun silam dan dibuka oleh pejabat  Kepala Dinas Prasja dan Tarkim Sumatera Barat. Mulai dari Sabri Zakaria, lalu, diteruskan Ir. Heddyianto, kemudian secara bertahap ditingkatkan Dody Ruswandy. Hanya saja selama pemerintahan Bupati Amri Darwis, jalan ke Gelugur nyaris tak mendapat perhatian sehingga kembali hancur. Karena itu ketika kembali ke kursi Bupati Limapuluh Kota, Alis pun berjuang membangun kembali jalan itu. Harapan Alis disahuti Ir. Suprato Kepala Dinas Prasja Tarkim, pengganti Dody Ruswandy, Suprapto akan membangun kembali jalan Sialang– Gelugur yang sudah rusak parah itu.

Harapan kita tentu dengan adanya pandangan yang kritis terhadap kondisi yang memprihatinkan ini mampu menggugah perhatian para pejabat pemerintahan yang lain di provinsi ini. Dengan demikian, Kapur IX terutama Gelugur juga bisa ikut merasa bagian dari Riau kembali merasa bagian dari provinsi ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...