Minggu, 19 Mei 2019

Islam Nusantara yang Ditolak

MINANGKABAU MENGGELINJANG

Nyaris lima tahun lalu, KH Ma’ruf Amin, saat itu Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat menulis sebuah artikelnya berjudul “Khittah Islam Nusantara” (Kompas, 29 Agustus 2015).  
Inti artikel yang ditulis Rais Aam PBNU yang kini maju sebagai Calon Wakil Presiden berpasangan dengan Joko Widodo untuk pilpres 2019 ini, ada lima penanda Islam Nusantara. 
Pertama, reformasi (islahiyyah). Kedua, tawazuniyyah, yang berarti seimbang di segala bidang. Ketiga, tatawwu’iyyah, yang berarti sukarela (volunterisme). Keempat, santun (akhlaqiyyah), dan kelima, tasamuh.
“Secara konseptual, kelima penanda Islam Nusantara tersebut mudah diucapkan, tetapi sulit direalisasikan. Sulit di sini berbeda dengan tidak bisa melaksanakan. Misalnya, sikap Islam Nusantara dalam menyikapi dua arus formalisme keagamaan dan substansialisasi keagamaan berada di tengah. Prinsip yang harus dipegang dalam hal ini adalah kesepakatan (konsensus), demokratis, dan konstitusional,” kata KH Ma’ruf Amin yang sudah mengundurkan diri sebagai Ketua Umum MUI Pusat.
Dalam rentang lima tahun itu, bisa dikatakan tak ada reaksi dari ulama di Indonesia, termasuk MUI Sumatera Barat. Reaksi keras muncul setelah MUI Sumatera Barat mengeluarkan keputusan usai muzakarah bersama perwakilan MUI kabupaten dan kota se-Sumbar di Negeri Serambi Mekkah, Padang Panjang, yang dilaksanakan selama 2 hari, Jumat-Ahad, 14-16 September 2018.   
Keputusan ini sekaligus memperkuat dan mengukuhkan Keputusan Rapat Koordinasi Bidang Kerukunan dan Ukhuwwah MUI Sumbar dan MUI kabupaten-kota se-Sumatera Barat terkait dengan penolakan Islam Nusantara pada di Hotel Sofyan Rangkayo Basa Syari’ah Padang, Sabtu, 21 Juli 2018.
“Tidak hanya penolakan Islam Nusantara, hasil muzakarah ini juga mendukung pernyataan sikap MUI di Sumatera Barat terkait dengan pengaturan penggunaan pengeras suara di masjid, langgar, dan musala,” kata Buya Gusrizal Gazahar, Ketua Umum MUI Sumbar.
Dalam muzakarah itu, ulama dengan tegas menyatakan bahwa tanpa ada keraguan bahwa Islam Nusantara dalam konsep, pengertian, defenisi apapun tidak dibutuhkan di Ranah Minang (Sumatera Barat). “Bagi kami, nama Islam telah sempurna dan tidak perlu ditambah lagi dengan embel-embel apapun," kata Buya.
Sementara itu, ulama karismatik  Buya Mas’oed Abidin sependapat dengan apa yang dihasilkan muzakarah MUI se-Sumatera Barat itu.
“Islam Nusantara itu tidak ada. Yang ada hanyalah Islam di Nusantara. Islam itu hanya satu saja: Rahmatan lil alamin,” kata Mas’oed Abidin kepada Khazanah, Minggu, 24 Februari 2019.
Wali Kota Padang Mahyeldi Ansharullah juga bersetuju dengan apa yang diputuskan MUI se-Sumatera Barat.
“Saya tidak setuju dengan Islam Nusantara dan saya mendukung apa yang menjadi keputusan dari MUI Sumbar. Apa yang menjadi keputusan para ulama di Sumbar tentunya saya dukung,” katanya.

Penolakan ulama se-Sumatera Barat itu mendapat reaksi dan respons dari Ketua Umum MUI Pusat KH Ma'ruf Amin. Ia menilai MUI tidak boleh mencela salah satu aliran.
"Pokoknya kita MUI tidak boleh mencela salah satu aliran. Semestinya MUI menampung semua ajaran Islam, termasuk Islam Nusantara. Itu bagian dari Indonesia Yang jelas, MUI tidak boleh menampung ajaran yang menyimpang,” ujar Ma'ruf sepekan setelah muzakarah MUI se-Sumbar.  Perang wacana pun berlangsung hingga kini kendati terimpit dengan isu politik.
Tujuh butir latar belakang alasan MUI se-Sumbar menolak Islam Nusantara itu ialah:
  1. Istilah "Islam Nusantara" melahirkan berbagai permasalahan yang akan mengundang perdebatan yang tidak bermanfaat dan melalaikan umat Islam dari berbagai persoalan penting yang sedang dihadapi. Bahkan istilah "Islam Nusantara" bisa membawa kerancuan dan kebingungan di tengah umat dalam memahami Islam.Susunan bahasa Indonesia yang menganut konsep DM, menunjukkan pembatasan Islam dalam wilayah yang disebut "Nusantara". Ini berakibat terjadinya pengerdilan dan penyempitan ruang lingkup Islam yang semestinya menjadi rahmat untuk seluruh alam semesta (rahmatan lil'alamiin) dan untuk seluruh umat manusia (kaaffatan linnaas).
  2. Jika yang dimaksudkan dengan istilah "Islam Nusantara" adalah keramahan washatiyah (proporsional dan pertengahan dalam keseimbangan dan keadilan), toleransi dan lainnya, itu bukanlah karakter khusus Islam yang sangat mendasar. Karena itu, menghadirkan label "Nusantara" untuk Islam, hanya berpotensi mengkotak-kotak umat Islam dan memunculkan pandangan negatif umat kepada saudara-saudara muslim di wilayah ini.Dikatakannya lebih jauh, wasathiyyah, samhah, 'adil, 'aqliy dan lainnya yang disebutkan sebagai karakter "Islam Nusantara", hanyalah sebagian dan keistimewaan Islam yang tidak bisa dipisahkan dengan keistimewaan lainnya seperti rabbaniyyah ilahiyyah, syumuliyyah, mumayyizat yang lain hanya akan menimbulkan kerancuan dalam memahami Islam dan mengeluarkan Islam dari kesempurnaannya.
  3. Jika "Islam Nusantara" dipahami dengan dakwah yang mengacu kepada ajaran dan pendekatan Wali Songo di pulau Jawa, ini bisa berdampak serius kepada keutuhan bangsa, karena di berbagai daerah dalam wilayah NKRI, ada para ulama dengan pendekatan ajaran yang bisa saja berbeda dengan Wali Songo. Memaksakan pendekatan dan ajaran Wali Songo ke seluruh Indonesia, berarti mengecilkan peran ulama yang menyebarkan Islam di daerah lain yang memiliki karakteristik dakwah yang beragam.
  4. Jika pendekatan kultural yang menjadi ciri khas "Islam Nusantara" maka itu bukanlah monopoli "Islam Nusantara" tapi telah menjadi suatu karakter umum dakwah di berbagai wilayah dunia ini karena sikap Islam terhadap tradisi dan budaya tempatan, telah tertuang dalam kajian ilmu Ushul al-Fiqh secara terang. 
  5. Bahkan para ulama Sumatera Barat dengan perjalanan panjang sejarah dakwah Islam di Ranah Minang yang diwarnai dengan dinamika yang begitu hebat, telah menjalani langkah-langkah pendekatan kultural tersebut bahkan mereka sampai kepada komitmen bersama melahirkan "Sumpah Sati Marapalam" dengan falsafahnya yang dipegang oleh masyarakat Minangkabau sampai hari ini, yaitu Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah, Syara' Mangato, Adat Mamakai".Walaupun telah sampai pada titik kebersamaan tersebut namun tak seorang pun ulama Minangkabau menambah label Islam di Minang ini dengan "Islam Minang".
  6. Jika dimaksudkan dengan "Islam Nusantara" adalah Islam yang toleran, tidak radikal kemudian memperhadapkan dengan kondisi Timur Tengah sekarang, maka sikap ini mengandung tuduhan terhadap ajaran Islam sebagai pemicu lahirnya sikap radikal dan tindakan kekerasan terhadap konflik Timur Tengah. Ini juga pencideraan terhadap ukhuwwah Islamiyyah antara kaum muslimin di dunia, kjarena perjuangamn yang dilakukan oleh sebagian kamum muslimin seperti Palestina, sangat tidak pantas dilabeli dengan radikalisme dan kekerasan.
  7. Seharusnya mereka mendapatkan simpati kita kaum muslimin di negeri ini sebagaimana mereka memperlakukan kita di saat perjuangan kemerdekaan Indonesia dahulunya. n nasrul azwar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...