Minggu, 17 Maret 2024

Edy Utama, Membesarkan Randai di Mancanegara

eDY uTAMA

Edy Utama,
43 tahun, adalah sosok pekerja seni. Seluruh waktunya nyaris ia habiskan untuk pengembangan seni dan budaya. Sebagian besar kehidupannya dicurahkan untuk pengembangan kebudayaan, terutama seni tradisi Minangkabau. Kini pria yang menjadi Ketua Umum Dewan Kesenian Sumatera Barat ini semakin intens menggeluti dunia seni dan budaya.

Tak henti-hentinya ia berusaha untuk meyakinkan banyak orang untuk mendapatkan dukungan bagi agenda-agenda kebudayaan yang dikembangkan. Edy adalah penggagas sekaligus pelaksana Festival Pesisir. Sebuah aktivitas kebudayaan yang mengangkat martabat budaya pesisir. Edy pula yang memprakarsai Alek Nagari, kegiatan kebudayaan untuk menyambut kembalinya sistem pemerintahan nagari di Sumatera Barat.

Bersama kelompok seni Talago Buni, Edy mengusung budaya Minangkabau yang dikemas secara kontemporer berkelana ke sejumlah Negara. Tak sekadar pentas, Edy ingin menunjukkan bahwa seni tradisi Minangkabau memiliki kesetaraan dengan budaya di belahan dunia lain. “Minangkabau memiliki sesuatu yang layak ditawarkan sebagai bagian tatanan pergaulan dunia,” ujarnya.

Berbicara tentang kebudayaan dengan Edy bagai membangkitkan semangat hidupnya. Meski tak tampak intonasi maupun tekanan suara, namun Edy begitu kaya akan wacana. Sesekali ia mengajukan pertanyaan kepada lawan bicara untuk mengajak diskusi.

Kepada wartawan Republika, Khairul Jasmi, ia mengungkapkan pandangannya tentang kebudayaan dan seni. Tak terkecuali perjalanannya mempro-mosikan budaya Minangkabau ke luar negeri. Berikut petikannya.

Benarkah Anda “menjual” budaya Minang ke luar negeri?

Tidak juga. Tapi, zaman saat ini memang membuka peluang bagus munculnya local cultural (budaya lokal-red) yang punya keunikan dan spesifik. Dalam artian, berbeda dengan bidang kebudayaan yang dikembangkan dan diekspor oleh industri kapitalisme.

Nah, Minangkabau memanfaatkan peluang itu. Kelihatannya malah bisa menjadi salah satu kebudayaan dunia. Kelihatannya diterima secara luas, oleh kalangan peminat kebudayaan di dunia. University of Hawaii misal-nya. Di perguruan tinggi ini, telah ditetapkan sekali empat tahun diadakan kelas randai dari Minangkabau.

Siapa yang menjadi pengajarnya?

Guru-gurunya didatangkan dari Minangkabau. Kegiatan ini akan dilakukan secara terus-menerus. Untuk tahun 2001 kita sudah mengirim seniman randai Musra Dahrizal dan seniman saluang, Hasan Nawi. Keduanya mengajar selama satu semester.

Masuk dalam kategori bidang studi apa?

Di universitas tersebut, randai Minangkabau menjadi salah satu bidang studi dari drama-drama Asia. Dengan demikian, kini di sana telah diajarkan drama dari empat kebudayaan; Jepang, Cina, India, dan Minangkabau. Jadi dari Indonesia hanya randai.

Malah tahun 2004 ini, saya sudah bicarakan dengan pihak universitas itu, randai akan dijadikan bidang studi khusus. Ini merupakan satu loncatan yang luar biasa. Sebab, merupakan satu pengakuan terhadap kekuatan-kekuatan seni dan tradisi yang kita miliki. Dengan demikian, perjalanan ke luar negeri grup-grup kesenian dari Sumatera Barat dan Jakarta, semakin mendapatkan tempat.

Artinya, Minangkabau memiliki sesuatu yang spesifik untuk ditawarkan sebagai bagian dari tatanan pergaulan dunia. Jika hal itu menjadi strategi kita dalam memper-kenalkan kebudayaan, tanpa mengabaikan harga diri, Minangkabau akan menjadi salah satu budaya yang punya pasar di luar.

Bagaimana cara Anda menembus Hawaii of University?

Pada tahun 1995 dan 1996 saya melakukan diskusi panjang dengan Kristian Pauka dari Hawaii of University. Ia datang dari Honolulu. Saya membantunya melakukan penelitian tentang randai di Sumatera Barat selama delapan bulan.

Memang dari awal ia sudah berminat tentang itu. Realisasinya baru tahun 2000/2001 dan pada tahun-tahun selanjutnya. Dampaknya bagi kita ke dalam, jelas akan menjadi sumber untuk bisa menumbuhkan keper-cayaan diri orang Minangkabau. Bahwa kebudayaan tradisi yang dianggap ketinggalan zaman dan diremehkan, ternyata menjadi bagian penting bagi proses interaksi global.

Ini tergantung pada kita. Tergantung, bagaimana menyikapinya secara bersama. Harus disadari bahwa panggung kebudayaan tidak hanya terbatas pada wilayah-wilayah yang sifatnya lokal, tapi telah meng-global. Kalau seniman-seniman kita mau memberi-kan respons yang positif terhadap itu, tinggal bagaimana jaringan-jaringan baru.

Di Minangkabau sendiri bagaimana pembinaan randai dilakukan?

Sebenarnya, pembinaan randai boleh dikatakan tidak ada. Untuk kesenian hal itu tidak berlaku. Jika mau memakai kata “pembinaan” juga, maka itu, lebih bersifat menciptakan iven-iven bagi seniman randai. Gunanya, untuk menumbuhkan kreativitas.

Jadi tidak dalam pengertian membina dan meng-arahkan seniman randai. Kita melihat, masyarakat punya kemampuan untuk mengembangkan dirinya sendiri. Kemampuan merespons perkembangan dan menangkap idiom-idiom baru. Ini semua, otomatis bisa mempertahan-kan komunikasi mereka dengan lingkungan yang berubah.

Jadi bagaimana proses tumbuhnya kebudayaan lokal ini?

Pengelolaan randai betul-betul lahir dari kecintaan mereka untuk meneruskan warisan budaya. Dewan kesenian sendiri juga tidak melakukan pembinaan. Tapi dewan sekadar memberikan alasan-alasan yang bersifat kultural saja.

Kecintaan mereka pada randai memang cukup dalam. Sebab secara material mereka tidak mendapatkan apa-apa. Bahkan mereka mensubsidi sendiri kegiatannya. Ini suatu spirit budaya yang sebenarnya menjadi modal utama. Sekaligus menjadi status sosial kelompok itu.

Bagaimana dengan keterlibatan Anda dalam sinetron “Duo Datuk Maringgih”?

Ya saya terlibat sejak awal. Saya menjadi konsultan produksi dalam pembuatan sinetron itu. Produsernya Multi Vision. Sinetron itu sebenarnya menangkap persoalan-persoalan yang aktual dalam masyarakat Minang.

“Dua Datuk Maringgih” sebenarnya hanyalah merupakan sebuah simbol dari suatu penyimpangan perilaku yang selama ini ditutup-tutupi. Dalam sinetron itu, “Duo Datuak Maringgih” bukanlah tokoh sentral tapi sekadar sebutan plesetan dari seorang datuk bernama Datuk Rajo Dihati.

Datuk ini, menafsirkan adat sesuai seleranya sendiri. Ia arogan dan sombong. Yang ingin dijelaskan ialah bagaimana menangkap sikap-sikap baru yang muncul dalam masyarakat; kemunafikan, kerakusan. Tapi juga menggambarkan hal-hal yang positif; bagaimana suatu mekanisme hukum ada diberlakukan di kalangan penghulu yang masih punya komitmen, punya kesetiaan pada nilai-nilai adat. Dalam sinetron itu, ada kelihatan bahwa Datuk Rajo Dihati akhirnya dibuang sepanjang adat.

Bagaimana Anda melihat posisi masyarakat kesenian saat ini?

Sebenarnya, selama ini masyarakat seni, merupakan komunitas yang termajinalkan. Kurang mendapatkan perhatian dari kalangan menengah ke atas dan pemerintah. Saya melihat, untuk memberikan perhatian ke komunitas itu (masyarakat kesenian-red), menjadi pilihan yang sulit bagi mereka. Maka, jangan disesali, kalau hingga saat ini tidak jelas strategi pengembangan kesenian di Indonesia.

Jika begitu, apa yang harus dilakukan?

Pemerintah harus lebih serius lagi, jangan hanya sibuk berkutat di dunia politik. Oleh sebab itu, secara pribadi saya merasa perlu mengambil tempat di dunia kesenian. Ini dimaksudkan untuk mempengaruhi perhatian berba-gai pihak untuk lebih mau memperhatikan dunia yang satu ini. Syukur untuk Sumatera Barat, kelihatannya ada perbaikan.

Bagaimana perhatian untuk seni tradisi?

Ya, kini terjadi pemahaman yang salah. Ada kalangan dalam masyarakat Minangkabau yang menyebutkan, seni tradisi tak lagi mampu menghadapi tantangan zaman. Ada pula yang menganggap budaya tradisi sudah ditinggalkan masyarakat pendukungnya.

Ini bisa betul dan bisa salah. Dari perspektif kota, misalnya, memang tak terlihat dan tak terasa dinamika seni tradisi itu. Tapi di sisi lain, banyak sekali muncul bentuk-bentuk seni alternatif dalam mengembangkan seni tradisi di Minangkabau. Randai, misalnya, mencoba memperbaharui diri dengan bermacam-macam idiom. Saluang dendang juga menjadi pertunjukan yang menarik.

Artinya terjadi revitalisasi dari seni pertunjukan tradisi, untuk tetap bertahan dan melakukan komunikasi yang baik dengan masyarakat pendukungnya. Sejauh yang saya amati, cukup sehat dan menggembirakan, walaupun banyak pihak menyatakan budaya tradisi sudah ditinggalkan, tapi saya tidak melihat hal itu.

Apa dasar penilaian Anda?

Sebenarnya, komunitas kesenian tradisional tetap tumbuh dan berkembang sesuai karakternya, yaitu punya kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perkem­-bangan baru. Tapi seni tradisi saja, tidak memberikan pengaruh yang kuat terhadap suasana kehidupan budaya umumnya dan kesenian khususnya. Apalagi dalam masyarakat heterogen.

Masyarakat Minangkabau sendiri tidak lagi disebut homogen. Ini dicerminkan oleh masyarakat perkotaan, semisal Padang. Juga oleh masyarakat Minangkabau yang tumbuh dan besar di rantau. Mereka sangat memerlukan apresiasi terhadap kesenian dan budayanya sendiri.

Kalau begitu apa perlu ada sebuah komunitas kesenian modern?

Ya. Tapi, komunitas kesenian modern yang tumbuh di kota-kota juga termarjinalkan. Ini akibat tumbuh dan berkembangnya industri budaya yang digerakkan modal, oleh kapitalisme.

Nah, sebenarnya, ini menjadi soal yang cukup diplomatik. Sebab bagaimanapun perkembangan sebuah kebudayaan juga memerlukan tempat bagi suatu ide baru itu, juga berada dalam posisi yang termajinalkan.

Apa yang mendasari Anda menggelar “Festival Pesisir”?

Saya melihat kawan-kawan memberikan perhatian pada acara itu. Festival ini merupakan reaksi/respons terhadap peminggiran budaya kecil yang ada di daerah pesisir Sumatera Barat. Selama ini dianggap sejarah dan latar belakangnya sama dengan budaya Minangkabau pedalaman. Padahal pesisir punya ciri sendiri.

Dewan Kesenian Sumatera Barat (DKSB) kemudian memberikan respons atas kondisi itu. Lalu mencoba menegaskan batas-batas wilayah keduanya. DKSB hendak menegaskan bahwa perlu ada pengakuan yang jelas atas perbedaan itu.

Bagaiman dengan “Alek Nagari”?

“Alek Nagari” merupakan pesta rakyat dalam menyambut perubahan desa menjadi nagari. Sumatera Barat dulu memiliki basis kultural yang sangat kuat bernama nagari. Tapi kemudian dengan diberlakukannya Undang-Undang No 5 Tahun 1979, nagari diubah menjadi desa yang berbau Jawa. Akibatnya, kreativitas penduduk menjadi mati.

Kini, dengan diberlakukannya UU No 22 Tahun 1999 (kini direvisi menjadi UU No 32 Tahun 2005-Editor) dengan  Sumatera Barat kembali ke nagari. Desa mereka tinggalkan. Untuk menyambut hal itu diadakan alek nagari. DKSB memilih tempat di Batipuh, dekat Padang Panjang. Ribuan orang hadir, memberikan apresiasi. Ini yang membesarkan hati.

Pesta itu sangat pantas diadakan, sebab nagari merupakan basis kultural. Tapi karena terjadi intervensi yang sangat jauh dari negara, institusi pendukung di nagari tidak lagi berfungsi. Dengan mengangkat “Alek Nagari” akan muncul kegiatan baru untuk mengembangkan lagi institusi budayanya sebagai ekspresi bersama.

Untuk tahun-tahun mendatang, kita akan memberikan satu bentuk yang lebih jelas. Sebab “Alek Nagari” tidak bisa diseragamkan. Pendekatannya membangkitkan potensi masyarakat untuk membangun budayanya sendiri. Di samping ingin mengembalikan hak-hak budaya mereka. Sebuah hak, yang selama ini ada pada masyarakat nagari, tapi terkooptasi oleh sistem yang sangat sentralistis.

 

Dunia Edy Utama barangkali ditakdirkan memang dalam lingkungan pemikiran dan kerja kebudayaan. Tak terkecuali dengan keluarganya. Sang istri, Noni Sukmawati (38), kini tengah bergulat merampungkan Program Pascasarjana, Fakultas Ilmu Budaya, Jurusan Antropologi, UGM-Yogyakarta. Pasangan Edy-Noni dikaruniai anak kembar, Amasukma Utama dan Amisukma Utami.

Rumah tangga Edy-Noni tampak berjalan dengan penuh santai dan apa adanya. Bagi yang  belum mengenalnya, pasangan Edy dan Noni nyaris bukan seperti suami istri. Mereka laiknya adik-kakak. Apalagi Edy sendiri disapa sang istri dengan “Bung”. Sebuah panggilan yang lidah pasangan suami istri lain berat mengucapkannya.

Edy memang tumbuh dalam lingkungan adat Minangkabau yang terkenal memegang erat tradisi. Namun, pria kelahiran Lubuk Sikaping 1 Agustus 1959 ini tak hendak terkungkung dalam tempurung adat tanah kelahirannya. Itu sebabnya, ia memilih Departemen Sinematografi Institut Kesenian Jakarta (IKJ) untuk membuka lebih luas perspektif kebudayaan yang digeluti.

Sedang untuk mengasah kepekaan dan jiwa kreatifnya, ia bergabung dengan “Teater SAE” selama tahun 1979-1981. Modal mendalami ilmu di IKJ serta pengalaman berkesenian di Jakarta ia teruskan saat kembali ke tanah Minang. Dimulai dengan mendirikan “Teater KITA” di Padang tahun 1982, Edy menapaki jalan berkesenian di Sumatera Barat.

Debut kerja seni Edy dimulai dengan menyutradarai pementasan Caligula karya Albert Camus. Kemudian dilanjutkan pementasan Macbeth karya William Shakespeare. Berkolaborasi dengan Healing Theatre, Jerman, Edy menggelar pementasan di Padang Panjang dan Padang. Sedang kelompok musik kontemporer Minangkabau Talago Buni ia bentuk tahun 1999.

Kerja kreatif Edy tak hanya di panggung pementasan. Edy juga memilih dunia kewartawanan sebagai ajang untuk menyalurkan ekspresi dan kreativitasnya. Tahun 1982-1984, Edy dipercaya sebagai redaktur budaya di Harian Umum Singgalang. Tahun 1984-1986 mengelana ke Kuala Lumpur sebagai penulis lepas (freelance). Balik ke Padang, tahun 1987 ia menjadi redaktur budaya di Harian Umum Semangat.

Perhatian yang ia curahkan di bidang kebudayan membuat ia didaulat sebagai Sekretaris Eksekutif Yayasan Genta Budaya, Sumatera Barat, penyunting Jurnal Kebudayaan Genta Budaya, ketua Lembaga Budaya Sumatera Barat serta Dewan Redaksi Harian Mimbar Minang. Bahkan sejak tahun 2000 Edy mendapat kepercayaan sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Sumatera Barat.

Aktivitas budaya yang ia geluti telah mengantarkan melakukan perjalanan budaya di sejumlah negara. Tahun 1996 atas undangan Australia-Indonesia Institute, ia melakukan kunjungan kebudayaan ke lima kota Australia. Atas undangan Ford Foundation, Edy juga pernah diminta mengikuti pameran kebudayaan Minangkabau di Flower Museum, UCLA.

Perjalanan budaya ke luar negeri dilanjutkan bersama Talago Buni mengikuti Festival World Music di Jerman, tahun 1999. Awal tahun 2001 memenuhi undangan Dance and Theatre, University of Hawaii sebagai project officer guru randai. Di Hawaii pula, Edy menggelar pameran foto seni Minangkabau. ***

 

Harian Republika, Padang, 12 Mei 2002

Sumber: Buku Khairul Jasmi Minangkabau dalam Reportase (Kumpulan Feature), Penerbit Kabarita Padang, Agustus 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...