Minggu, 17 Maret 2024

Saldi Isra, Bintang Muda dari Ranah Minang

Saldi isra

Saldi Isra,
SH, MPA, anak muda yang energik. Dosen pascasarjana program studi hukum Universitas Andalas, Padang, adalah ahli hukum tata negara yang melaju bagai meteor. Paling tidak di kampusnya. Sejak kuliah sudah kelihatan kepintarannya. Ia lulus dari Universitas Andalas tahun 1994, ia meraih predikat summa cumlaude.

Setelah menjadi dosen ia sangat disayang mahasiswanya. Yang paling sayang padanya adalah mahasiswanya bernama Leslie Annisa Taufik, yang kelak menjadi istrinya. Kini pasangan muda ini dikaruniai satu orang anak: Wardah Awallin Ikhsaniah Saldi. “Sehari dua ini, saya Insya Allah akan mendapat anak kedua,” katanya. Isrinya memang sedang hamil tua.

Dalam usia 34 tahun, Saldi merupakan dosen yang namanya cepat melambung. Betapa tidak, ia merupakan satu-satunya dosen di Sumatera Barat yang sangat produktif menulis artikel di banyak surat kabar Padang dan Jakarta. Menurut catatannya, ia telah menulis di surat kabar dalam dua tahun terakhir sebanyak 59 artikel di surat kabar Jakarta, 36 artikel di surat kabar Padang.

Saldi  juga disibukkan oleh permintaan redaktur berbagai surat kabar Jakarta. “Saldi tolong dong tulisannya,” katanya menirukan. Tak sia-sia ayahnya, Ismail, dan ibunya, Ratina, menyekolahkan Saldi tinggi-tinggi.

Selain menulis artikel, Saldi juga sudah menulis dua buah buku dan belasan karya untuk jurnal. Saat ini Saldi sedang menyiapkan buku Pertarungan Politik di Balik Amandeman UUD 1945. Saldi Isra menerima wartawan Khairul Jasmi dari Republika untuk sebuah wawancara.

Tampaknya Anda merupakan dosen Universitas Andalas yang sangat cepat menasional?

Mungkin karena faktor sering menulis. Paling tidak dalam dua tahun terakhir saya sangat banyak menulis persoalan-persoalan ketatanegaraan mutakhir. Tahun lalu, misalnya, banyak sekali tulisan saya dipublikasikan Republika tentang sidang istimewa MPR-RI. Setelah itu, saya banyak sekali menulis tentang proses amandemen di berbagai media cetak. Saya sangat diuntungkan oleh kegiatan menulis itu. Hal itu yang mendorong saya ke posisi sekarang.

Tapi dosen dan kolega Anda di kampus juga bisa menulis?

Betul. Yang juga bisa menulis banyak, tapi yang berani menulis ke tingkat nasional itu, sangat terbatas. Kalau boleh saya katakan, orang Minang yang tinggal di Minang yang menulis di koran nasional, tidak ada. Dulu ada Hendra Esmara, Mursal Esten, dan Mochtar Naim, tapi kemudian kosong.

Di kampus ada pembicaraan ke arah bagaimana menembus koran nasional. Tapi, selalu saja mereka dihantui rasa takut, takut tidak dimuat, takut dikembalikan, dan sebagainya. Saya pikir, kalau semuanya memulai dengan rasa takut, tidak akan ada penulis dari Padang, meskipun banyak yang bergelar doktor atau profesor sekalipun.

Kalau publikasi lewat jurnal atau media populer tidak ada, tentu orang lain akan susah mengenal kita. Saya sering sampaikan pada kawan-kawan, bahwa kita perlu bicara, tapi yang lebih penting menuliskan apa yang dibicarakan secara sistematik. Jika hanya puas dengan diwawancarai wartawan kemudian turun di koran, itu ‘kan tidak orisinal hasil pemikiran kita. Sebab bisa dicopot dari pikiran tertentu lalu disampaikan pada wartawan.

 

Seberapa banyak artikel yang sudah Anda tulis?

Sejak 2001 saya sudah menulis pada sembilan surat kabar. Untuk edisi nasional sebanyak 59 tulisan, di surat kabar lokal 36 tulisan. Saya sudah menulis tujuh artikel pada jurnal dan menulis 18 makalah. Karena menulis saya bisa beli sebidang tanah, ha..ha..

Untuk mahasiswa Anda memberikan saran apa?

Agar mereka terangsang menulis di surat kabar. Saya memberikan perhatian khusus kepada mahasiswa yang punya kemampuan menulis. Saya kira penulis di tingkat mahasiswa di Padang sekarang, yang terbanyak justru dari Fakultas Hukum Universitas Andalas. Mereka saya berikan sugesti dan penghargaan yang layak. Sebab, menurut saya, untuk menulis paling tidak harus membaca beberapa buku. Nah, kalau mereka bisa menuliskan sebuah persoalan, berarti mereka sudah bisa mempertanggungjawabkan persoalan itu. Dan itu jauh lebih baik ketimbang mereka membaca, mencatat, dan menjawabnya ketika ujian di kelas.

Saat memberikan kuliah, apakah Anda sering menyerempet keluar silabus?

Karena saya mengajar hukum tata negara, otomatis yang dibicarakan adalah persoalan aktual yang sedang berkembang. Jadi, kalau menyangkut teori-teori dasar, saya lebih banyak menyuruh mahasiswa membaca.

Saya malah lebih banyak berdiskusi tentang dinamika ketatanegaraan yang terbaru, karena hal itu yang paling aktual dan menarik. Malah, sekarang untuk belajar hukum tata negara, menjadi tidak relevan memakai silabus. Sebab silabus telah ketinggalan zaman. Makanya, yang paling objektif itu sekarang, bagaimana meng-gambarkan dan menceritakan perubahan-perubahan yang terjadi kepada mahasiswa. Rasanya tidak masuk akal, orang belajar hukum tata negara tidak mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi.

Bagaimana persepsi politik teman-teman Anda di kampus?

Ada yang bagus, tapi mayoritas kalangan universitas itu banyak yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan rutin. Kalau ada diskusi persoalan sensitif, yang hadir hanya segelintir. Sebetulnya ada gejala baru di pendidikan tinggi yang mengkhawatirkan saya sekarang. Gejala itu, orang–orang yang diharapkan atau diandalkan, malah berpikir bagaimana menduduki jabatan-jabatan penting di universitas atau di birokrasi di luar. Akibatnya, mereka terbius dan idealisme orang perguruan tinggi menjadi aus dan terkikis. Ini gejala yang memprihatinkan.

Kalau pilihan sudah dijatuhkan menjadi dosen, maka tetaplah menjadi dosen dan mengabdi dan meneliti. Jangan terbius oleh jabatan-jabatan. Saya lihat belum ada dosen yang menolak ketika ditawarkan posisi di birokrasi. Kalaupun ada, tak sampai sebilang jari kanan.

Kalau jadi birokrat apa salahnya?

Justru bisa menjadi pukulan hebat bagi perguruan tinggi. Banyak pengalaman menunjukkan, begitu masuk ke birokrasi, orang perguruan tinggi diamputasi oleh orang-orang lama di birokrasi. Akhirnya, mereka tak bisa bekerja maksimal.

Jujur saja, apa yang bisa dilakukan Profesor Fachri Achmad mantan Rektor Universitas Andalas, ketika ia menjadi Wakil Gubernur Sumatera Barat? Apa yang bisa dilakukan Profesor Nurzaman Bachtiar dari Universitas Andalas atau Profesor Muchlis Muchtar, mantan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Andalas, ketika ia duduk sebagai Ketua Bappeda Sumatera Barat?

Kita tahu persis, sampai di dalam itu berhadapan dengan kelompok-kelompok yang sudah permanen di birokrasi. Malah dapat hanyut dalam kondisi yang sudah sistematis dan tertata itu. Kalau itu dibiarkan terus menerus, kemudian akan timbul citra, ternyata orang-orang perguruan tinggi pun tidak bisa berbuat apa-apa ketika diberi kursi empuk.

Soal menulis?

Kalau menurut saya begini, koran lokal itu meski honornya kecil, tapi di situlah kita menguji kemampuan kita. Saya pun memulai dari koran lokal. Tapi, ini bukan soal honor, melainkan bagaimana kita menjual gagasan kita kepada orang banyak. Kita disebut sebagai kelompok pemikir, karena setiap saat kita mengeluarkan pemikiran-pemikiran terhadap persoalan yang sedang dihadapi. Kalau tidak melakukan itu, kita tidak berhak lagi menyandang predikat sebagai cendekiawan.

Apa dinamika paling menarik pada hukum tata negara itu?

Perubahan Undang-Undang Dasar (UUD 45). Amandemen UUD 45 itu paling menarik, karena sistem ketatanegaraan itu akan bergerak dari apa yang dihasilkan amandemen itu sendiri, yang katanya, akan selesai 2002 ini. Amandemen itu sendiri tidak terlepas dari salah satu agenda reformasi.

Tidak mungkin melakukan reformasi tanpa mereformasi konstitusi. Karena apa? Karena UUD 45 itu adalah Undang-Undang Dasar yang punya banyak kelemahan. Misalnya, pertama multi-tafsir. Bisa ditafsirkan oleh pemegang kekuasaan sesuai seleranya.

Soekarno dulu menafsirkan UUD 1945 bahwa demokrasi yang paling cocok itu demokrasi terpimpin. Sedang Soeharto dengan demokrasi Pancasila. Hal itu menggambarkan bahwa UUD 1945 bisa ditafsirkan semaunya oleh penguasa. Kelemahan yang kedua, UUD 1945 tidak punya desain ketatanegaraan yang jelas.

Di bagian mana ketidakjelasannya?

Karena UUD 1945 tidak jelas apakah menganut sistem presidential atau parlementer. Pada bagian tertentu berpola parlementer, seperti dalam praktik sidang istimewa MPR RI. Sedang pada bagian-bagian lain menganut sistem presidential, seperti pengangkatan menteri-menteri. Selain itu, UUD 1945 merupakan satu-satunya konstitusi yang punya penjelasan. Padahal itu (penjelasan-red) dengan batang tubuh UUD 1945 berbeda orang yang menyusunnya. Penjelasan disusun oleh Soepomo, sedang batang tubuh disusun bersama-sama oleh PPKI. Sehingga tidak mungkin pemikiran bersama sejalan dengan pemikiran Soepomo seorang. Jadi itu beberapa dasar mengapa perlu dilakukan reformasi, bahkan kita berpikir untuk mengganti UUD 1945.

Menurut Anda bagaimana proses amandemen yang sedang berlangsung saat ini?

Seperti diketahui pada tahun 1999, telah dilakukan amandemen pertama. Tapi hanya menyangkut bagaimana membatasi kekuasaan presiden dan memberikan fungsi yang lebih kuat kepada DPR. Amandemen kedua, tahun 2000, menyangkut hal yang lebih luas. Di situ sudah diatur hubungan pusat dan daerah dan soal hak asasi manusia (HAM).

Paling rawan adalah amandemen ketiga, ketika perubahan sudah mulai menyentuh posisi MPR dalam sistem ketatanegaraan. Rawan, karena kalau memang reformasi konstitusi dilakukan, maka salah satu lembaga negara yang harus dilikuidasi adalah MPR. Nah, sekarang MPR itu sendiri yang mau likuidasi dirinya sendiri, sesuatu yang tidak masuk akal.

Maka tidak mungkin kita berharap perubahan konstitusi itu bisa dilakukan secara baik dan benar oleh MPR. Kita harus tahu bahwa konstitusi dan partai politik adalah dua kutub yang berbeda. Konstitusi pada pokoknya bertugas membatasi kekuasaan-kekuasaan yang ada dalam negara. Sedangkan kekuatan-kekuatan politik yang ada di MPR, tugasnya bagaimana meraih kekuasaan sebesar-besarnya.

Karena itu, tidak mungkin penyusunan konstitusi diberikan kepada orang yang mau meraih kekuasaan sebesar-besarnya. Pada bagian itu,  kita berpikir sebetulnya agar konstitusi bisa lepas dari bias kepentingan politik jangka pendek, sebaiknya amandemen itu ditarik keluar dari lembaga MPR, lalu diberikan kepada sebuah badan yang tidak punya kepentingan politik. Itulah Komisi Konstitusi. Komisi inilah yang nantinya bekerja melanjutkan amandemen konstitusi. Selagi dengan MPR, kita tidak akan mendapatkan konstitusi yang bisa dipertahankan untuk jangka panjang.

 Saldi Isra bercita-cita membangun sebuah rumah yang nyaman. Ia telah membeli sebidang tanah di dalam Kota Padang, tempat ia selama ini menghabiskan hari-harinya.

“Uangnya dari honor artikel saya menulis di surat kabar,” katanya sedikit membanggakan jerih-payahnya menulis artikel.

Sebagai seorang dosen muda yang sedang naik daun, Saldi memiliki kesempatan mengikuti kecenderungan anak muda saat ini. Tapi, itu tidak ia lakukan. Saldi memilih kemana-mana jalan kaki sembari menyandang tas hitamnya. Ia tak peduli panas memanggang, meski rambutnya dicukur sangat pendek.

Lelaki kelahiran Paninggahan, Kabapaten Solok, Sumatera Barat, 20 Agustus 1968 itu, setamat dari Universitas Andalas melanjutkan studinya ke Program Master pada Institute of Postgraduate Studies and Research Universitas of Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia, pada tahun 2001.

Kini, Saldi dipercaya sebagai Direktur Eksekutif Pusat Kajian Hukum Wilayah Barat, Universitas Andalas, Padang. Ia juga menjadi sekretaris bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum di Universitas Andalas. Menjadi dosen sejak 1996 dan mengajar diberbagai perguruan tinggi di Padang, tapi Saldi tak kehabisan waktu untuk membawa istri dan anaknya main-main sore.

Suatu hari, ia kelihatan sedang asyik di salah satu pusat perbelanjaan yang ada di Kota Padang. Pada saat lain, ia tampak menikmati sore di pantai. Menurut pengakuan istrinya, Saldi merupakan tipe lelaki penyabar dan pengertian. “Saya mencintainya karena ia mengerti banyak hal,” kata sang istri.

Lulusan terbaik Maret 1995 di Universitas Andalas Padang itu, meraih IPK 3,86. Itulah sebabnya, ia menyandang predikat summa cumlaude. Setahun sebelumnya, ia menjadi mahasiswa berprestasi tingkat nasional. Prestasinya yang paling menonjol adalah kepandaiannya menulis dan memberikan karakter pada tulisan yang ia buat. Karena itu, tak heran waktu masih menjadi mahasiswa ia sering menjadi juara lomba menulis.

Di tengah kesibukannya mengajar dan menulis artikel, ia masih sempat menulis makalah untuk berbagai seminar. Kini, Saldi juga dipercaya pula menjadi Tim Ahli Koalisi untuk Konstitusi Baru, anggota tim asistensi perumusan rancangan peraturan daerah (Perda) ketentuan pokok pemerintahan nagari di Sumatera Barat. Ia juga dipercaya sebagai salah seorang perumus pokok-pokok pikiran Universitas Andalas untuk amandemen UUD 1945. ***

 

Harian Republika, Padang, 7 Juli 2002

Sumber: Buku Khairul Jasmi Minangkabau dalam Reportase (Kumpulan Feature), Penerbit Kabarita Padang, Agustus 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...