Minggu, 17 Maret 2024

Asmara Subuh di “Pantai Seribu Janji”


Ombak memecah kecil-kecil di bibir pantai. Desau angin pagi terasa mencubit kulit, agak dingin. Ketika salat Subuh baru saja selesai ditunaikan, sekelompok remaja puteri batalakuang (bermukenah) kelihatan berjalan santai bersama teman-temannya yang pria tentu saja pakai sarung. Mereka yang berdatangan dari berbagai masjid itu, sama-sama menuju pantai. Di depan mereka, laut terbentang luas, sedang sebelah kirinya ada bukit kecil bernama Bukit Gunung Padang. Di situlah lambang cinta tempo doeloe dimakamkan oleh Marah Rusli; Sitti Nurbaya.

Itulah Pantai Padang, “pantai seribu janji”. Meski bulan Ramadhan tetap semarak oleh muda-mudi. Dijuluki “pantai seribu janji”, karena di sana, entah berapa ribu bahkan jutaan janji muda mudi yang terpatri, atau sebaliknya tercabik. Dan di kala subuh dalam bulan Ramadhan, Pantai Padang tetap berfungsi sebagai “pantai seribu janji”.

Berbeda dengan hari-hari biasa, yang ramai tiap sore, di bulan Ramadhan, ramainya di kala subuh seusai salat. Dari pertemuan muda-mudi di kala subuh itu, tak jarang yang akhirnya bermuara ke jenjang perkawinan.

Sejak awal Ramadhan, seperti juga Ramadhan sebelumnya, begitu meninggalkan masjid, anak-anak muda itu, tak segera kembali ke rumahnya masing-masing, tapi mereka rehat dulu sembari menggoda atau berusaha menggoda sesama. Saling sapa, saling intai, dan curi pandang.

Besok datang lagi, tanpa diikat, janji itu terpaut sendiri. Jika pada hari-hari pertama Ramadhan, mereka datang bergerombolan, hari berikutnya masih begitu. Bedanya, kian sering ke pantai di kala subuh, maka otomatis, mereka menemukan pasangan masing-masing.

Ada juga yang saling pegangan tangan. Selanjutnya jangan lakukan! Sebab di antara mereka, tiba-tiba ada yang jadi pengawas. Biasanya ada pula sekelompok remaja putri yang sial tak dapat teman. Mereka inilah yang tiba-tiba jadi pengawas. Canda ria sepulang dari masjid itu, berlangsung hingga pukul 07.30 WIB. Makin hari, kian banyak yang memadati pantai tersebut.

Pekan pertama Ramadhan, jumlahnya diperkirakan lebih dari 500 orang remaja putera-puteri yang datang ke sana. Jumlah itu terus saja bertambah dan bertambah lagi. Warna talakuang yang putih mendominasi peman-dangan di situ, berpendar dengan cahaya lampu jalan yang kuning temaram.

Yuli, salah seorang dari gadis yang datang ke “pantai seribu janji” itu, kepada Republika, bertutur, “Saya ada janji sama teman, biasa,” katanya malu-malu. Ketika ditanya, apakah pertemuan itu tidak merusak puasa yang sedang dilaksanakan, “Ah Uda ini, berprasangka saja, kita teman kok,” katanya membela diri.

Yuli tak sendirian, bagi Mira, datang ke Pantai Padang dan bertemu doi, merupakan motivasi untuk melaksana-kan salat Subuh. Namun, sejumlah remaja lainnya, ada yang datang ke masjid di kala subuh, untuk mempermulus izin dari rumah (orangtua). Tujuan utamanya, pacaran di pinggir pantai.

“Kalau sore-sore pacaran di bulan Ramadhan, kan nggak lucu,” kata salah seorang dari mereka. Meski datang untuk pacaran, ia mengaku, takut melakukan “sesuatu”.

Acara berpasang-pasangan yang ramai bukan hanya “pantai seribu janji”, tapi juga di sejumlah lokasi lainnya. Semua jembatan di jalan By Pass, Padang, misalnya. Di sebuah jembatan tidak kurang seratus remaja putera-puteri nongkrong tiap pagi, sebagian berpasang-pasangan. Entah apa yang mereka bicarakan. Ada yang datang jalan kaki, ada yang mengendarai motor, bahkan mobil.

Tak Ada Lagi Asmara Subuh di Pantai Padang

Kisah “asmara subuh” itu adalah kisah enam tahun yang lalu. Kini tahun 2004. Ramadhan di hari ketujuh-belas, bertepatan pada Ahad 31 Oktober 2004, ketika fajar ditimpa gerimis pagi, purnama masih terlihat jelas di atas langit Pantai Padang. Tidak seperti biasanya, setiap Ahad pagi di bulan Ramadhan, penuh dengan keramaian anak muda. Ada yang bergerombol sesama jenis. Tapi lebih banyak berpasangan dengan lawan jenis. 

Mulai dari jembatan Sitti Nurbaya di ujung selatan hingga ke perkampungan nelayan kawasan Olo Ladang, di ujung utara, sepanjang ± 4 km. Ada yang mejeng membawa mobil. Tak sedikit pula yang bersepeda motor dan jalan kaki. Mereka  menyebut bertandang ke Pantai Padang di subuh pagi itu dengan istilah “asmara subuh”. Sebuah terminal cari pasangan  ala anak muda. 

Sepanjang tahun asmara subuh selalu mengundang protes dari kaum ulama di Kota Padang. Sebab acara itu sudah menjurus kepada mudharat daripada manfaat. Saat banyak orang memperbanyak amalan dengan ibadah berjamaah, yang dimulai dari salat Subuh di masjid, beberapa orang lainnya, terutama remaja, justru membelokkan kakinya keluyuran. Meski di leher mereka ada lilitan mukenah dan sarung saat turun rumah. Mereka bukannya masuk masjid, tapi membuat janjian untuk bertemu di saat salat Subuh. Kerisauan itulah yang ditangkap oleh Walikota Padang, Fauzi Bahar. Mayor TNI-AL yang baru satu semester memimpin ibu kota Provinsi Sumatera Barat itu mematikan kegiatan asmara subuh dengan kegiatan Pesantren Ramadhan. Sasarannya adalah bagaimana takmirul masjid mengakar dalam kehidupan kaum muslim. 

Sedang fokus Pesantren Ramadhan adalah pelajar yang duduk mulai dari bangku SD (kelas 4), SMP, dan SMA. Menurut Fauzi, gagasan Pesantren Ramadhan datang dari Dewan Masjid Indonesia (DMI) Kota Padang. Pada awalnya DMI risau melihat libur Ramadhan untuk pelajar tidak termanfaatkan dengan baik. Agar libur Ramadhan berjalan optimal, Walikota Padang itu mengeluarkan instruksi agar seluruh masjid di Kota Padang menyeleng-garakan Pesantren Ramadhan. Ada 500 masjid dan tercatat 150.000 pelajar berbagai tingkatan di Kota Padang.

Adapun masjid yang menjadi sasaran tempat Pesantren Ramadhan bagi masing-masing pelajar adalah masjid di lingkungan tempat tinggal mereka. Lama waktu kegiatan Pesantren Ramadhan ini untuk masing-masing tingkatan adalah satu pekan. Pekan pertama untuk tingkat SD. Saat yang sama, siswa SMP dan SMA tetap belajar di sekolah. Kemudian ketika Pesantren Ramadhan SD usai, murid SD kembali ke sekolah dan Pesantren Ramadhan diikuti oleh tingkat SMP. Ketika Pesantren Ramadhan tingkat SMP usai, dilanjutkan dengan tingkat SMA. Sedang murid SD dan SMP kembali belajar di sekolah masing-masing. Di akhir kegiatan, pelajar yang lulus mendapat sertifikat yang ditandatangani langsung oleh Walikota Padang Fauzi Bahar. Bahkan, untuk pemuncak masing-masing tingkatan, Fauzi Bahar menyediakan pula hadiah sebagai perangsang atas keberhasilan mereka.

Jati Diri Minangkabau

Rutinitas kegiatan Pesantren Ramadhan ini diawali sejak subuh dengan kegiatan salat Subuh berjamaah. Sedang materi kelas meliputi pelajaran keimanan, akhlak, ibadah salat wajib, dan sunat, membaca Alquran, zikir, dan doa, serta simulasi. Masing-masing materi ini, silabusnya telah disusun secara baku melalui sebuah seminar jelang memasuki Ramadhan. Untuk masing-masing tingkatan itu, Pesantren Ramadhan ditutup dengan muhasabah, di mana masing-masing peserta dibawa dalam sebuah perenungan jatidiri. Puncaknya, mereka akan tersadar dan menangis sembari minta maaf kepada orangtua mereka, yang saat acara penutupan juga dihadirkan.

Menurut Ketua DMI Kota Padang, Irsyam Idrus, Pesantren Ramadhan adalah solusi bagaimana pelaksa-naan ibadah puasa bisa berjalan efektif dilaksanakan generasi muda Islam. Selama ini, kata Kepala Depag Kota Padang itu, puasa di mata pelajar hanya sebagai kegiatan ritual, tanpa mereka tahu makna lebih dalam dari ibadah puasa.

Dalam kerangka mikro, kegiatan Pesantren Ramadhan dapat  dijadikan implementasi dalam semboyan orang Minang untuk menyatukan tekad kembali ke surau sebagai jati diri dalam mewujudkan adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.

Sejumlah pengurus masjid penyelenggara Pesantren Ramadhan tidak menduga antusias pelajar ternyata cukup tinggi untuk mengikuti kegiatan ini. Bahkan, dari jadwal yang disusun secara padat, pelajar tetap mengikutinya penuh disiplin. Yossi Nindia Armanda, siswi SMU Negeri 3 Padang, mengaku puas mengikuti Pesantren Ramadhan. Selama ini,  Islam yang ia ketahui hanya mengikuti perintah salat dan membaca Alquran, serta menjauhkan perbuatan yang mudharat. “Ternyata, nilai-nilai Islam itu sangat luas,” sebutnya.

Meski berjalan lancar, namun kesangsian juga muncul dalam pikiran pengurus masjid. Kesangsian adalah kelanjutan dari apa yang telah diperoleh pelajar dari Pesantren Ramadhan ini. “Ibarat aki, kalau tidak dicas, dayanya tentu akan lunak,” kata Alimin Hisyam, Pengurus Masjid Al-Munawarrah Perumnas Siteba, Padang. Pola jatidiri mereka sudah terbentuk melalui Pesantren Ramadhan. Persoalan, bagaimana menjaga pola yang telah dibentuk itu.

Kini Ramadhan akan berakhir. Semaraknya di masjid-masjid Kota Padang tidak lagi seperti ekor tikus. Masjid tetap ramai dengan aneka kegiatan yang dilanjutkan pelajar peserta Pesantren Ramadhan. Bila sekali waktu Anda ke Pantai Padang untuk melihat keramaian “asmara subuh”, kini tak ada lagi. Semua berpindah ke masjid. Tak ada lagi asmara subuh di Pantai Padang. (KJ)


 

Harian Republika, Padang, 11 Desember 2004

Sumber: Buku Khairul Jasmi Minangkabau dalam Reportase (Kumpulan Feature), Penerbit Kabarita Padang, Agustus 2014

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...