Kamis, 28 November 2013

Pohon Mangga di Muka Surau



CERPEN Sunlie Thomas Alexander
Mengapa masih saja kau cemaskan isyarat yang tumbuh pada matanya? Bukankah ia adalah takdir? Bagaimana kau harus menghindarinya?
“Apakah lebaran nanti, Abang pulang?” tanyanya menatapmu malu-malu. Kau melengos, berpaling ke arah surau kecil di belakangmu. Sejenak kau bingung. Hendak menjawab ya, kau takut memberikan harapan sementara kau belum memiliki kepastian soal itu. Bila menjawab tidak, mungkin akan mengecewakan. Bagaimana kalau kau betul-betul pulang nantinya?

Sepotong Nyanyian Senja


CERPEN Alwi Karmena
Dia sama sekali tidak ingin semuanya berakhir sedih. Tidak menyesal, apa lagi sampai membuahkan tangis. Dia ingin menguji hati nya, hati laki-laki yang seharusnya keras. Bukan seorang yang lembek dan bukan pula seorang yang sentimen. Meski telah beranjak tua . Ia rasa urat urat darahnya masih liat menahan dera perasaian. Tapi entah kenapa, hentak kenyataan, kali ini lain. Di rumah tangganya beban moral sudah demikian berat. Belakangan, bahkan dia merasa seperti telah terinjak-injak. Dan kiranya hal itu seperangkat kekeliruan, ianya sudah tak bisa memaafkan lagi. Dia akan bertindak, membuat semacam perlawanan hebat pada realita. Bagaimana pun akibatnya  nanti.

Jumat, 22 November 2013

Cerdas! Strategi Serangan Jilbab Hitam Diambil dari Skripsinya Sendiri

 OLEH HENDRA WARDHANA

Cerdas, itulah kesan pertama yang saya tangkap sesaat setelah selesai membaca salinan skripsi berjudul “Pemikiran dan Perjuangan Tan Malaka 1945-1949” milik seorang bernama Indro Bagus Satrio Utomo. Menyimak kekuatan ide dan jalinan kalimat yang mengisi skripsi tersebut tampak bahwa sang penulis sangat ingin mengangkat Tan Malaka. Menyimak setiap kalimatnya yang cair mengalir, sementara sebuah skripsi biasanya kaku, saya berfikir ia memang sosok yang cerdas, setidaknya ia berhasil menyajikan tulisan, argumen, dan analisis yang padu dalam skripsinya itu.

Membaca skripsi tersebut terasa bahwa sang penulis tahu banyak tentang Tan Malaka. Ia tahu Tan Malaka bukan hanya sebagai objek kajian skripsinya semata. Dengan kata lain Tan Malaka bukanlah nama yang seketika muncul akibat keterpaksaan harus mencari bahan skripsi. Skripsi tersebut pun benar-benar ditulis dari hati dan pantas mendapat nilai A.

Jilbab Hitam, Kebetulan Bukan Berarti Kebenaran

OLEH ANDREAS HARSONO

Jilbab Hitam sembunyi di balik identitas "mantan wartawati Tempo" atau "pacar Indro Bagus." Nama anonim membuat pembaca tak bisa mengukur derajad kepercayaan mereka terhadap Jilbab Hitam. Saya pakai fedora hitam, baju hitam dan kacamata hitam namun saya tak pakai nama gelap.

Rabu kemarin ketika hendak tidur siang, Metta Dharmasaputra dari Katadata, kirim SMS, “Mas, Jilbab Hitam alias Indro dan Ratu Adil baru nulis lagi di Kompasiana dan sekarang serang Mas Andreas juga.”

Saya jawab singkat: “Asyik” … ingin segera tidur. Tapi kantuk saya hilang. Saya memutuskan baca blog Jilbab Hitam, “Selingkuhnya Rudi Rubiandini, Pengalihan Isu Suap SKK Migas?” 


Selingkuhnya Rudi Rubiandini, Pengalihan Isu Suap SKK Migas?


OLEH JILBAB HITAM

Eks wartawan TEMPO, kini buruh biasa

Sempat bikin heboh, kalau tidak boleh dikatakan membahana sampai-sampai harus dihapus, kini saya kembali mau menuangkan reportase saya, secara individual tentunya, dibantu semangat dari kekasih saya Indro Bagus Satrio Utomo, yang disalahartikan sebagai saya.
Apa yang hendak saya reportasekan disini masih berkaitan dengan apa yang saya ungkap pada tulisan pertama yang kemudian dihapus oleh Kompasiana, yaitu ruang lingkup kasus SKK Migas.


Sabtu, 16 November 2013

Suara Lokal dalam Teks-teks Drama Mutakhir Indonesia

Fakultas Ilmu Budaya UGM
Menunggu Godot (asbarez.com)
Teks-teks drama mutakhir Indonesia yang ditulis dua dekade terakhir (antara tahun 80-an hingga tahun 2000) sangat kental dengan warna lokal. Hal ini berbeda dengan trend penulisan teks drama era sebelumnya yang banyak mengambil pola teater avantgarde, terutama bentuk teater absurd. Pada tahun 60-an hingga awal 80-an, misalnya, teks drama yang muncul pada umumnya dipengaruhi oleh model drama yang ditawarkan seperti Samuel Beckett, Bertolt Brecht, Antonin Artoud, Stanislavsky, Grotowski, dan sebagainya. Sejarah perkembangan drama di Indonesia telah mencatat fenomena itu pada saat Rendra bersama Bengkel Teaternya mementaskan Menunggu Godot karya Samuel Beckett di TIM Jakarta pada tahun 1969 (Soemanto, 2000:5), kemudian disusul oleh drama minikatanya yang lain macam Bip-Bop. Sejak pementasan itu, pola drama avantgarde seolah-olah telah mencuri perhatian para penulis drama di Indonesia dan menjadi mode baru pementasan drama pada masa itu.

Teks Pidato Pasambahan Batagak Gala di Minangkabau dalam Perspektif Semiologi Roland Barthes

OLEH Silvia Rosa
Universitas Andalas, Padang
silvia_rosa2003@yahoo.com

Pidato Pasambahan Adat Minangkabau  (baralekdi.blogspot.com)
Masyarakat Minangkabau merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang masyarakatnya dikenal suka merantau. Begitu kuat kesukaan itu sehingga merantau bagi masyarakat tersebut bukan lagi sekedar aktivitas yang bersifat pribadi, yang semata-mata didasarkan pada tuntutan kepentingan ekonomis, melainkan sudah menjadi aktivitas kolektif dan merupakan imperatif kultural. 
Kuatnya kesukaan merantau telah turut mempengaruhi pandangan mereka tentang wilayah tempat tinggal. Mereka membagi wilayah tempat tinggalnya menjadi dua bagian, yaitu luhak dan rantau. Luhak adalah wilayah kediaman asli mereka, sedangkan rantau merupakan wilayah yang menjadi tujuan mereka dalam merantau. Luhak terletak di dataran tinggi, di bagian pedalaman, sedangkan rantau di dataran yang lebih rendah daripada luhak, di pesisir. Wilayah yang pertama oleh masyarakat Minangkabau disebut juga darek (darat), sedangkan yang kedua pasisia (pesisir).

Langit Bandar Padang

CERPEN Deddy Arsya
Dia hendak menuruni tangga kapal ketika ingatan pada mimpinya tiba-tiba menghentikannya. Beberapa hari belakangan ini, dia terbayang lagi leher-leher yang putus tertebas parang, decap bunyi anak panah menghujam kulit tubuh, atau letusan meriam yang menyalak tiada henti. Bermula, dua malam berturut-turut di Batavia, sejak itu, dia terus bermimpi lagi tentang perang melawan pasukan Pangeran, kelepak terompah kuda, desing dan letusan balansa, besi-besi yang berdentang, juga dentuman-dentuman yang memekakkan telinga. Dia mulai lagi membayangkan nyalang mata musuh yang meregang nyawa menatapnya tak kejap-kejap, bunyi daging-daging yang terkelupas dan gosong terpanggang, tubuh-tubuh yang sungsang, juga kepala yang lepas dari badan.

Air Mata Badut



CERPEN  Alwi Karmena
“Sudah jadi kau cuci topeng sama baju Badut itu Sam?” tanya Syair sambil menelan sebutir obat sakit kepala.
“Ooo yaa ya. Sudah, sudah,” k,ata Samiarni, istri Syair yang kurus pipih itu tak bisa berdusta. Dia belum sempat mencuci topeng dan pakaian Badut, pakaian kerja yang dipesankan suaminya kemarin. Cuma, dia tak ingin Syair marah. Agak lain juga. Belakangan ini darah tingginya acap kumat. Untuk itu, sekali ini Samiarni terpaksa berdusta.

Catatan Dasein pada Festival Monolog Kenthut-Roedjito Solo: mesin Eksistensialis dalam Perangkap Virtual



OLEH Delvi Yandra
Penggiat Teater dan Pendongeng

Dasein [berarti ‘berada di dalam’; bahasa Jerman: da zain] merupakan suatu istilah yang sangat karib dalam karya besar filsuf Martin Heidegger (1889-1976) berjudul Being and Time. Ia memakai istilah tersebut untuk menjelaskan kemampuan manusia dalam eksistensinya atau kemampuan ‘menetap’ dan memaknai hidupnya di dunia.
Istilah tersebut juga menjadi judul dari naskah drama yang sekaligus disutradarai oleh Bina Margantara pada rangkaian Festival Monolog ‘Kenthut-Roedjito’ di Solo, Kamis (5/7) malam lalu. Pentas tersebut dilakukan untuk mengenang dua tokoh teater: Bambang Widoyo SP (Kenthut) dan Roedjito (Mbah Jito).
Dalam pentas yang ke 29 tersebut, lewat Dasein, kelompok Teater Rumah Teduh tampil di Kelurahan Danukusuman, Kecamatan Serengan, Solo-Surakarta. Setelah sebelumnya pada Rabu (4/7) malam semua peserta melakukan upacara keprihatinan budaya di Lapangan Danukusuman Tanggul Budaya (tanggul di pinggiran sungai), bersama Butet Kertarejasa, Didik Nini Thowok, Slamet Gundono, Tony Broer, Yusril (Katil), Anastasya dan tokoh-tokoh teater lainnya. Hadir juga kelompok teater dari pelbagai kota seperti Padang, Banjarmasin, Makassar, Palu, Bali, Surabaya, Solo, Pekalongan, Jepara, Bandung, dan Jakarta. Upacara tersebut diadakan mengingat terancamnya 49 mata air apabila di Danukusuman didirikan pabrik semen oleh pemerintah.

Jilbab Hitam Versus Tempo: Sebuah Belantara Hitam Pers Indonesia

Berikut adalah link polemik yang awalnya dipicu pengakuan seorang yang mengaku mantan wartawan Tempo dengan menggunakan nama anonim "Jilbab Hitam" terhadap sepak terjang majalah Tempo, dan media lainnya.  Ini merupakan sejarah perjalanan pers di negeri ini dan perlu didokumentasikan secara benar.  Link bersumber dari www.rimanews.com dan tempo.co.
Pengasuh

Saya adalah seorang perempuan biasa yang sempat bercita-cita menjadi seorang wartawan. Menjadi wartawan TEMPO tepatnya. Kekaguman saya terhadap sosok Goenawan Mohamad yang menjadi alasan utamanya. Dimulai dari mengoleksi coretan-coretan beliau yang tertuang dalam ‘Catatan Pinggir’ hingga rutin membaca Majalah TEMPO sejak masih duduk di bangku pelajar, membulatkan tekad saya untuk menjadi bagian dalam grup media TEMPO.

Sesungguhnya apa sih yang membuat Bos TEMPO kelabakan ketika dituding terlibat mafia pemerasan kepada pihak-pihak bermasalah? Sedemikian paniknya Bos TEMPO melayani postingan blog yang ditulis oleh akun @Jilbab Hitam. Sehingga terkesan ada apa-apanya antara mahluk halus @Jilbab hitam dengan managemen Tempo Grup.

Berangkat dari apa yang di katakan oleh Pepatah “ Tidak Mungkin Ada Asap Kalau Tidak Ada Api “ begitulah kita menilai atas apa yang di tulis oleh Jilbab Hitam tentang kebobrokan Majalah Tempo yang di motori oleh Gunawan Muhammad dan Bambang Hari Murti. Walaupun penulis belum sempat membaca apa yang di tulis oleh Jilbab Hitam yang menelanjangi Majalah Tempo. Majalah yang cukup terkenal di Tanah Air bahkan di Asia Tenggara ini, namun dari beberapa tulisan yang menanggapi apa yang di tulis oleh Jilbab Hitam tentu kita menduga apa yang di tulis oleh Jilbab Hitam ke mungkinan mendekati kebenaran. 


Sungguh,sosok Jilbab Hitam(http://www.rimanews.com/read/20131111/126044/mengerikan-dan-brutal-tempo...) kini populer di Indonesia, terutama di media, dan terutama di grup Tempo. Pasalnya, akun ini dinilai ‘menyebar fitnah’ dengan memaparkan sejumlah hal seputar kebobrokan media terkait dengan pemberitaan.

Menyimak banyaknya pemberitaan menyangkut tulisan yang ditayangkan oleh akun jilbab Hitam yang memantik tempo untuk membalas dengan sengit, hati saya bertanya-tanya; sudah pantaskah Kompasiana menghapus tulisan tersebut hanya karena pihak tempo merasa keberatan karena dianggap melakukan kebohongan publik dan cenderung mengarah pada fitnah? 


Identitas penulis misterius Jilbab Hitam kini ramai dipergunjingkan di media cyber. Di situs Kompasiana, seorang penulis alias Kompasianer mengaku mengetahui jati diri si Jilbab Hitam yang menjelek-jelekkan sejumlah individu dan institusi, di antaranya Tempo, Bank Mandiri, dan lembaga riset Katadata. Meski tulisannya masih misteri pula. 



Catat dulu, tulisan ini bukan fakta, sekedar analisis atau pendapat.  Jagat kompasiana dan sosial media beberapa hari ini dihebohkan oleh tulisan kompasianer anonim “jilbab hitam”yang secara terbuka menuding TEMPO dan KataData memeras Bank Mandiri dalam Kasus SKK Migas. Siapa Jilbab Hitam itu? Benarkah ia adalah mantan wartawan TEMPO? Dan banyak pertanyaan lain yang lazim muncul ketika sebuah akun anonim melempar sebuah ‘fakta’ (fakta dalam tanda kutip) yang kita belum tahu kebenarannya.


Refleksi dari kasus Jilbab Hitam vs Tempo: Beberapa waktu lalu cukup ramai dipergunjingkan tulisan dari akun ‘Jilbab Hitam’ di Kompasiana yang mengkonstruk sebuah opini provokatif; upaya pemerasan terhadap perusahaan BUMN oleh media ternama (Kini tulisan tersebut sudah diturunkan). Sebagai manusia yang melek media, saya fikir kita tidak perlu memihak opini mana yang benar (Media Pemeras itu atau Perusahaan yang diperas).

Saya lega sudah dibukakan mata dan tidak lagi buta terhadap TEMPO maupun mimpi saya menjadi seorang wartawan yang bersih. Sulit menjadi bersih di kalangan wartawan. Godaan begitu banyak. Tidak hanya di luar organisasi tempat kamu bekerja, tetapi juga di dalam organisasi tempatmu bekerja. 

'Jilbab Hitam' Ungkap 'Borok' Etika Pemberitaan TEMPO?
Alhamdulillah, Whistleblower terus bermunculan di Indonesia, sejak 1998 lepas dari cengkeraman Orde Baru yang rasanya sulit mengungkap borok negeri yang menggurita. Namun sayangnya tidak diikuti oleh media mainstream yang seharusnya menjadi pengabar fakta, pemberi cahaya terang dalam kegelapan, bukan malah bersekongkol dengan mafia, godfather atau para cukong yang malah menjadi pengabur fakta dan membunuh para musuh cukong dan mengumbar sentimen anti islam yang kental. Inilah kekejaman media mainstream dengan menghakimi opini massa, 'trial by press' 

Luar biasa, sebuah kejutan besar sekaligus ide hebat dari seseorang yang menamakan diri “Jilbab Hitam.” Dalam tulisannya di Kompasiana.com, pada 11 November 2013, telah menghebohkan banyak pihak. Tak kurang, Tempo sendiri menurunkan 5 tulisan bantahan atas informasi yang dia paparkan. Bagaimanapun, tulisan “Jilbab Hitam” lebih kuat dari semua bantahan Tempo; dan sangat disayangkan, Kompasiana.com men-delete begitu saja tulisan itu. Bahkan dalam ulasan di Kompasiana.com disebutkan, bahwa “Jilbab Hitam” hanyalah pemain amatir, tulisannya dangkal. Bodoh, justru tulisan dia sangat kuat. Lebih kuat dari umumnya tulisan-tulisan di Kompasiana.com yang ngalor-ngidul gak jelas.


Nama samaran Jilbab Hitam dengan tulisannya (http://www.rimanews.com/read/20131111/126044/mengerikan-dan-brutal-tempo...) tentang isu pemerasan Tempo kepada Bank Mandiri menjadi pembicaraan riuh di dunia internet. Pihak Bank Mandiri dan Tempo membantah tuduhan si Jilbab Hitam. Beberapa orang teman saya di facebook dan teman-teman mereka menanggapi dengan opini yang beragam. Ada yang bilang si Jilbab Hitam menunjukkan bahwa ia merupakan orang tidak jelas karena nama dan identitas palsunya.

Identitas penulis misterius Jilbab Hitam kini ramai dipergunjingkan di media cyber. Di situs Kompasiana, seorang penulis alias Kompasianer mengaku mengetahui jati diri si Jilbab Hitam yang menjelek-jelekkan sejumlah individu dan institusi, di antaranya Tempo, Bank Mandiri, dan lembaga riset Katadata. 
Direktur Utama PT Tempo Inti Media Tbk Bambang Harymurti memberikan klarifikasi atas tulisan Hendra Boen yang dimuat di Kompasiana. Berikut ini adalah tanggapan BHM--sapaan akrabnya.

Media Relations Bank Mandiri, Eko Nopiansyah, membantah bahwa dirinya pernah bertemu seseorang yang mengaku mantan wartawan Tempo untuk membicarakan dugaan pemerasan oleh media tersebut terhadap Bank Mandiri.
Pengelola media sosial Kompasiana, Pepih Nugraha, mengatakan tulisan berjudul "Tempo Dan Kata Data Memeras Bank Mandiri Dalam Kasus SKK Migas" dicabut karena dianggap memojokkan seseorang atau instansi. Tulisan itu, kata Pepih, mengandung unsur provokatif.

Ini Kejanggalan Tuduhan Jilbab Hitam pada Tempo 
 
Majalah Tempo bersama lembaga riset Katadata dituding melakukan pemerasan terhadap Bank  Mandiri berkaitan dengan kasus Rudi Rubiandini. Tudingan itu ditulis oleh “Jilbab Hitam”, yang mengaku sebagai bekas wartawan Tempo angkatan 2006,  di media sosial Kompasiana, Senin, 11 November 2013.
 
 

Senin, 11 November 2013

Di Bawah Temaram Lampu Badai




CERPEN Delvi Yandra

Judul Menguji Kesabaran
akrilik-ballpoint, 145 x 145 cm, 2006

Sejak pemberontakan meletus empat hari yang lalu, anak-anak dan kaum perempuan tidak ada yang berani keluar rumah sehingga kampung kami sungguh mengalami masa-masa sulit; sawah dan ladang tak menghasilkan apa-apa, akses ke kampung sebelah hanya dapat dilewati melalui sungai dengan perahu atau rakit, dan pengajian ditiadakan untuk sementara waktu.
Bala tentara musuh semakin rajin berkeliaran keluar masuk kampung seraya membawa bedil. Mereka menguasai Batu Hampar hingga ke Kurai. Kami geram melihat manusia jangkung berkulit pucat dan berambut pirang dengan hidung mencuat itu, sehingga kami bertekad menghancur-leburkan mereka.
Tetapi kami tak butuh arloji. Athar telah menjadi waktu bagi kami. Ketika malam tiba, itulah saatnya bagi kami untuk mengambil suatu keputusan berdasarkan seruan dari Athar.

Wajah-wajah dalam Ingatan



CERPEN R Yulia
Mereka kembali berbisik-bisik. Di sudut. Menjauhkanku lewat tatapan setajam clurit–seakan memberi ancaman tentang harga mahal yang harus kubayar jika coba menguping atau memperpendek jarak terhadap mereka—lipatan dahi dan tarikan garis mengetat pada bibir. Aku berpaling. Tak hendak mencuri lihat, mencuri dengar atau bahkan mencuri hati.
Sekujur tubuhku melekat erat pada jeruji besi, membatasi kehendak liar yang menggelepar-gelepar dalam kepala, meronta-ronta seperti babi hutan yang tertombak. Hawa dingin yang mengalir lewat genggaman tangan, kulit wajah, dada dan pahaku, membekukan seluruh keinginanku pada temperatur nol absolut. Termasuk keinginan menemuinya!

Kisah Cinta Pekerja Malam di Kota Gigolacur



CERPEN Ramoun Apta
Lukisan Nasrul
Pada suatu malam berdebu, di suatu Minggu kota Gigolacur, trotoar tak pernah bercerita tentang apa dan bagaimana caranya dua ekor tikus bisa saling kejar-mengejar, meningkahi kerikil yang berserakan, menyusuri got-got yang bau, dan kemudian bergerumul seperti hendak saling membunuh. Begitu juga dengan tiang listrik yang kesepian menimang embun—yang sebenarnya tak patut juga disebut embun karena ia sedikit berminyak—di dekat taman itu, seperti hendak melepaskan kabel-kabel yang terentang memberat.

PUISI Yusrina Sri Oktaviani


Pelataran Rindu

Tak pernah ku tau betapa dalam hatiku
Hingga disana tumbuh rindu
Bermekaran.. berbunga indah
Menyebut namamu sebagai daun cinta yang ku tanami
Tak pernah ku tau betapa murni hatiku
Hingga sapa mu menanam cinta disana
Subur.. bertunas dan berpucuk
Membayangkan rupamu sebagai atap dari keteduhan jiwaku
Tak pernah pula ku tau betapa tabah hatiku
Hingga akhirnya aku menantimu
Bersama kasih yang pernah kau titipkan
Walau tetesan kalbu kian menghujaniku
Menatap hampa pelataran taman
Tempat dimana aku pernah memohonkan doa
Sebait kata yang masih kukuh ku genggam
Meski tenang hatimu tak mampu ku tebak
Bahkan resapan nafas itu..
Tak lagi kau beri makna..
Namun doa menabahkan jiwa
Ada kalanya kan tiba
Pelataran rindu akan kita tempati kembali
Dengan berseminya bunga-bunga kasih
Aku menanti..
Di setengah napasku

PUISI Dedi Supendra


:Malam

Malam,
Seperti kacang goreng
Laku keras dibeli kupu-kupu
Datangnya ditunggu membawa madu
Hilangnya meninggalkan kabar tak sedap, seperti keringat-keringat yang bercucur dari kulit-kulit berbalut bedak dan debu panas
Malam, laksana darah bagi nyamuk nakal
Segar dan sedap
Dan merah membakar sayap

PUISI Sondri BS


Seseorang

I
beberapa cahaya menetesi malam
gelisah angin di bibir jendela
seseorang, mungkin menanti mimpinya
kenangan menggeliat dalam jelaga
hidup telah jauh sendirian saja
pergi bagai kereta meninggalkan stasiun
berpasang mata hanya saling melepaskan
kemudian memendam rindu, bagai ratap biola
manusia : hanya kesedihan yang dihibur dengan tawa

II
malam akan sampai diujungnya
dan kau kan sendiri memeluk kenangan
kesedihan bagai seseorang pergi
tak ingin mengulang jejaknya

lalu senyap bertanya bagai kawan
sudah kau temukan beberapa bagian hatimu yang hilang
ah, sampai kini juga belum ada kabarnya.

2012

PUISI Fitri Yani


Bunga Tidur

asmara bersemayam
di kelopak mata

partikel-partikel waktu
memusar di lubuk dada

tujuh lingkaran
tujuh kehidupan
dibangkitkan
dari sebuah taman

lalu muncul daun-daun
tempat kumpulan embun
berselancar
seperti bocah
tujuh tahun

membuka kelopak mata
berkeriap

sekejap

sabda mengalun
di telinga yang terjaga


(06 April, 2011)

Minggu, 03 November 2013

SOSIOLOGI SENI TEATER DAN FILM INDONESIA: Dalam Perspektif Semiotika Sosial Budaya


OLEH Soediro Satoto
Guru Besar pada Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
 
Pendahuluan
Baik Seni Teater maupun Seni Film, keduanya m
Pementasan Teater Koma (Dok)
erupakan jenis-jenis seni pertunjukan yang bersifat kolektif, kompleks, rumit, dan (paling) akrab dengan publiknya, yaitu ‘masyarakat seni teater dan film’, ‘masyarakat seni pertunjukan’. Yang dimaksud ‘masyarakat seni pertunjukan’ di sini, antara lain: pencipta seni, para pekerja seni, karya seninya itu sendiri, manager (pengelola, atau pemimpin) kelompok (group) seni, pengayom atau maesenas seni, alam semesta (universe) dan lingkungan seni (poleksosbud hankam, iptek dan seni) yang bisa dijadikan bahan atau sumber inspirasi bagi seniman untuk melakukan proses kreatif seni, lembaga pengelolaan atau managemen seni (lembaga swasta atau pemerintah, lembaga sekolah atau kampus, baik lembaga formal maupun nonformal, sanggar, kelompok, paguyuban, dsb.), penikmat, pemerhati, kritikus atau peneliti seni, pelatih atau pengajar seni, baik guru, dosen, maupun empu seni, dan jangan lupa penonton karya seni, baik menggunakan sarana visual, auditif, audiovisual, dan sebagainya. Baik melalui media panggung pementasan atau pergelaran, media cetak, elektronik, audiovisual atau teve, maupun komputer, Khusus penonton, menurut hemat saya bukan sekadar berkedudukan sebagai faktor penunjang, melainkan merupakan komponen atau unsur bagi setiap seni pertunjukan. Tanpa penonton, penyebutan istilah ‘seni pertunjukan’ menjadi aneh, sebab lalu dipertunjukkan atau dipertontonkan kepada siapa?

Zaman Akhir Orde Baru dan Perubahan "Suara Lokal" dalam Sastra Indonesia



OLEH Michael Bodden
University of Victoria, Canada
mbodden@uvic.ca 
Pengantar
Selama dua dasawarsa pertama Orde Baru, corak dominan di dalam fiksi "warna lokal" atau "warna daerah" adalah semacam sikap yang mendua terhadap budaya tradisional setempat. Salah satu contoh baik dari hal ini adalah novel Darman Moenir, Bako (1983 [1980]). 
Dalam novel Darman Moenir ini, budaya tradisional Minangkabau sering dipandang oleh si pembawa cerita, atau "aku", sebagai sesuatu yang penuh peraturan kaku dan kejam yang mau mengatur kehidupan para warga kampung, dan yang terlalu tergantung kepada asal-usual salah seorang (14-17, 28-29, 35, 45-46, 98-99). Semua ini membawa sederetan akibat bagi bapak dan ibu pembawa cerita karena ibunya bukan orang sekampung dengan bapaknya, apalagi bukan gadis lagi waktu disunting oleh bapaknya (14). Sikap masyarakat untuk menolak perkawinan mereka ikut menghancurkan kewarasan jiwa Ibu pembawa cerita dan menciptakan banyak kesulitan bagi si "aku" dan Bapaknya, meskipun keluarga bapak si "aku" jauh lebih maju dan toleran tentang soal-soal keturunan. Pada akhir novel itu, si "aku" sangat berharap supaya warga kampung bakonya akan bersikap lebih maju dan punya pengertian yang lebih masuk akal (98-99). 
Sebagai akibat dari persoalan yang dialaminya bersama ayah dan ibunya, pembawa cerita meyakini watak dan perbuatan seseorang sebagai ukuran martabat orang itu daripada asal dan keturunan (15). 

Sustaining the Local by Embracing the Global: Theatre and Contemporary Javanese/Indonesian Identity

BY Barbara Hatley
University of Tasmania, Australia
blhatley@postoffice.newnham.utas.edu.au 

Ketoprak di Jawa (www.antaranews.com)
This paper arises out of 25 years of theatre-watching in Indonesia, particularly in the city of Yogyakarta. Here I studied the popular melodrama ketoprak in the late 1970s, and have continued to observe ketoprak, modern Indonesian language theatre, teater, and other varieties of performance ever since. Yogya as the acknowledged heartland of ketoprak activity in the 1970s, the site of the greatest number of troupes, was my choice for the initial study. Later explorations of the social meanings of various forms of theatre for their Javanese-Indonesian participants have likewise been based mainly in Yogyakarta. But not exclusively so - where Yogya performance practice compares significantly with developments elsewhere, or where a wider perspective has been needed to encompass a particular topic, my gaze has been broader.

Sabtu, 02 November 2013

REFLEKSI UNTUK REPUBLIK INDONESIA: Bagaimana Kita Menilai PRRI?


OLEH H. Kamardi Rais Dt. P. Simulie

Pada penghujung tahun 1957 situasi tanah air semakin panas. Seakan-akan bara api yang siap nyala membakar daun-daun kering yang berserakan di persada tanah air. Belum setahun gerakan-gerakan daerah  mengambilalih jabatan Gubernur Sumatera Tengah oleh Ketua Dewan Banteng A. Husein dari tangan Gubernur sipil Ruslan Muljohardjo, (20 Desember 1956) Gubernur Sumatera Utara St. Komala Pontas diambilalih oleh Simbolon (22 Desember 1956).  Kolonel Simbolon kemudian didaulat oleh Letkol Djamin Gintings. Gubernur Sumatera Selatan Winarno oleh Panglima Barlian (9 Maret 1957).

Kabinet Ali II memang sudah jatuh digantikan oleh Kabinet Djuanda yang dibentuk oleh formatur tunggal Bung Karno. Keadaannya semakin tidak berdaya menyelesaikan kemelut tanah air yang chaos di segala bidang : politik, ekonomi, sosial, keamanan dan pemerintahan.

WAWANCARA KHALID SAIFULLAH: Pembalakan Hutan, Kerap Libatkan Oknum TNI dan Polri


Khalid Saifullah
Investigasi dilakukan Walhi Sumbar menemukan, setiap aktivitas pengambilan kayu secara ilegal di Sumatera Barat, selalu melibatkan oknum dari kepolisan dan oknum dari TNI sebagai backing, bahkan ada juga yang menjadi aktor utamanya (cukong) sebagai penyedia modal dan peralatan di samping itu ada juga oknum dari Dinas Kehutanan. “Menumpas pembalakan hutan, sama persis beratnya dengan menumpas korupsi di negeri ini. Ia  sudah mendarah daging,” kata Khalid Saifullah, Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Barat. Berikut petikan wawancaranya dengan Nasrul Azwar.
Bagaimana komentar WALHI tentang kondisi hutan Sumatra Barat saat ini?
Jika kita lihat secara kasat mata dari kejauhan maupun dengan menggunakan helicopter kondisi kawasan hutan kita di Sumatera Barat sepertinya masih terlihat baik-baik saja karena terlihat masih tertutup oleh hijaunya perbukitan.

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...