Selasa, 31 Desember 2013

CARITO RANDAI MAGEK MANANDIN:Bapadoman Kapado Kaba Magek Manandin

Disusun Baliak Dek Musra Dahrizal Katik jo Mangkuto


(BAGIAN 1)

Gurindam Duduak

Ampun baribu kali ampun
Pado panonton nan jauhari
Baiak kapado niniak mamak

Sapuluah jari kami susun
Kok ado taupek jo tapuji
Rila jo maaf kami mintak

Kurang batukuak kami mintak
Supayo gantang nak balanjuang
Baitu adaik di Nagari

Dari duduak kami katagak
Supayo niaik samo lansuang
Randai dimulai hanyo lai

Karya Sindhunata sebagai Novel Berdimensi Baru dalam Genre Sastra Indonesia Modern



OLEH B. Rahmanto
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta)


I
Jauh sebelum kedua novel ini terbit, dalam Pertemuan Sastrawan Indonesia II yang dilaksanakan di TIM tahun 1974, perupa sekaligus penyair, cerpenis dan novelis Danarto menggemparkan publik baca puisi dalam rangka pertemuan sastrawan itu dengan puisinya yang berbentuk garis segi empat sebanyak sembilan buah seperti ini. 










Garis-garis yang membentuk segi empat itu ia sebutnya sebagai puisi. Orang boleh saja menyebut bahwa Danarto sebagai pelukis yang terbiasa berbicara lewat gambar, sudah tidak percaya lagi pada daya kemampuan bahasa konvensional sebagai wadah ekspresi kepenyairannya. Dilihat dari sub-topik pertemuan ilmiah HISKI ke-14 ini yang mencoba mencari genius lokal dalam sastra, persoalannya di sini tentu bukan apa makna puisi itu, tetapi terlebih pada sejauh mana Danarto mencoba membuka dimensi-dimensi baru dalam penulisan puisi. Mengapa segi empat seperti itu bisa disebut sebagai puisi. Apakah bahasa sebagai alat konvensional sedemikian miskin untuk menyampaikan maksudnya? 

MENAKJINGGO VERSUS DAMARWULAN:Dialog Seni Pertunjukan Jinggoan



Pengajar Fakultas Sastra Universitas Jember dan Koordinator Kajian Perempuan Desantara, Jakarta

Sebuah fenomena menarik, cerita legendaris Damarwulan-Menakjinggo yang diilhami kisah perang Paregreg yang kemudian sering dilakonkan dalam pertunjukan Jinggoan dengan cerita yang merendahkan martabat rakyat Blambangan justru sangat digemari oleh masyarakat Using Banyuwangi selama bertahun-tahun. Implikasi cerita tersebut membuat masyarakat Using memikul beban yang mendalam sampai mengidap gejala psikologis sindroma rendah diri, seolah-olah berprototipe jahat, pemberontak, dan mabuk kekuasaan seperti halnya Menakjinggo.1 Kisah Damarwulan-Menakjinggo merupakan sejarah barat-timur (mulai dari zaman Majapahit-Blambangan sampai Mataram-Blambangan) selalu diwarnai hubungan yang tidak harmonis, peperangan, dan penaklukan.

Pengembangan Teori Sastra Bangesgresem: Sebuah Alternatif Teori Sastra Lokal Genius

OLEH Puji Santosa
Pusat Bahasa, Jakarta
puji_santosa@kompascyber.com

Pada tanggal 23–26 Maret 1988 di Universitas Bung Hatta, Padang, Sumatera Barat, diadakan sebuah “Seminar Susastra Indonesia” yang membahas tentang teori dan kritik susastra Indonesia yang relevan, yakni teori dan kritik sastra yang berpijak pada bumi sendiri. Makalah seminar di Padang itu kemudian dikumpulkan oleh Mursal Esten dan diterbitkan menjadi buku oleh penerbit Angkasa Bandung (1989) dengan judul Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indonesia yang Relavan. Namun, sampai sekarang tidak ada gayung bersambut, tidak ada tindak lanjut atas gagasan pencarian, penggalian, penemuan, dan pengembangan menjelang teori dan kritik susastra Indonesia yang relevan dengan kondisi dan situasi karya sastra Indonesia dan daerah yang disuarakan melalui seminar tersebut. Mereka (para pembicara dan pencetus gagasan seminar itu) kemudian lebih asyik dan menarik dengan teori-teori dan kritik sastra Barat. Kehidupan teori dan kritik sastra Barat masih mendominasi kehidupan akademik di kampus-kampus perguruan tinggi di Indonesia, juga sebagai sarana utama penelitian di lembaga-lembaga penelitian di Indonesia, bahkan menjadi perbincangan hangat (tak pernah basi) di forum-forum pertemuan ilmiah, seminar, simposium, dan kongres Bahasa Indonesia dari waktu ke waktu.

Perempuan dan Modernisasi dalam Novel Negeri Perempuan



OLEH Kurnia Ningsih
Universitas Negeri Padang


Pendahuluan 

Menurut para pakar sosiologi masyarakat dan kebudayaan tidak bersifat statis, melainkan selalu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman. Hanya saja perubahan yang meliputi semua aspek kehidupan termasuk individu itu sendiri tentu saja tidak sama kadarnya ada yang bersifat lambat, cepat maupun drastis. Modernisasi dalam hal ini termasuk yang drastis dan telah memberikan dampak yang boleh dikatakan cukup dahsyat terhadap kehidupan komunitas serta budayanya. Hal ini bisa jadi disebabkan kemajuan tehnologi yang sangat pesat yang membuat batas antara satu negara dengan negara lain bahkan satu budaya dengan budaya lain semakin menipis. Semua peristiwa yang terjadi diujung dunia lain dapat dilihat oleh semua umat di bumi bahkan dapat ditiru. Perubahan yang terjadi tentunya tergantung kepada sikap masyarakat yang mene-rimanya. Seperti yang dikatakan oleh Kleden dalam makalahnya (2003), kalau seseorang menghadapi berbagai pengaruh kebudayaan itu secara kreatif, maka apa pun yang jatuh ke tangannya akan menghasilkan suatu cipta-budaya, tetapi kalau dihadapi dengan sikap menerima saja maka yang tercipta hanyalah budaya tiruan yang lebih menunjukkan asal usul pengaruh tersebut.

Dinamika Gender dalam Konteks Adat dan Agama dalam Novel-novel Warna Lokal Minangkabau

OLEH Atmazaki
Universitas Negeri Padang

ATMAZAKI
Salah satu nilai yang sangat menonjol dan banyak dibicarakan sejak beberada dasawarsa terakhir ini adalah perbedaan perempuan dan laki-laki dari dimensi gender. Persoalan ini menjadi topik yang cukup hangat di kalangan intelektual. Persoalan ini pulalah yang banyak dipersoalkan oleh sastrawan melalui karya sastra. Hampir di setiap negara/bangsa, selalu ada sastrawan yang mengemukakan persoalan gender sebagai tema karyanya, seperti Sinclair Lewis di Amerika Serikat (Djajanegara, 1995:8), Elizabeth Gaskell, dan George Eliot di Inggris (Selden, 1989:114).  Bahkan, perkembangan awal sastra modern Indonesia dipenuhi oleh persoalan-persoalan gender.

Estetika dalam Perspektif Budaya Minangkabau

OLEH Yusriwal
Pengajar dan peneliti di Fakultas Sastra Unand
YUSRIWAL
Masalah estetika cukup rumit karena bidang ini bukan hanya sebatas seni dan filsafat. Untuk memahami estetika, beberapa hal perlu diperhatikan: 1) apresiasi terhadap seni mencakup pengamatan (mendengarkan, membaca, dan lain-lain) pada situasi dan modus yang berbeda sehingga seseorang dapat menikmati dan meresapi segala sesuatu yang terpendam dalam karya tersebut. Apresiasi sering melibatkan berbagai kalangan seperti dosen, pencinta seni, serta melalui berbagai cara seperti peragaan, percakapan formal, dan bahkan dengan mengulangi secara diam-diam; 2) kritik terhadap karya seni terdiri atas kata-kata, yaitu kata-kata tentang karya seni dan dirancang untuk lebih memahami dan mengapresiasi karya seni (gaya atau periodenya) dengan cermat. Kritik terhadap seni merupakan cara untuk mencapai tujuan akhir yang lazim dilakukan di akademi/universitas yang mengurusi seni, sastra, musik, lukisan, pahat arsitek dan tari dengan melibatkan orang yang begitu telaten di bidangnya; dan 3) estetika termasuk bidang filsafat. Dalam estetika kita mencoba mengklarifikasi konsep yang dipakai dalam berpikir dan berbicara tentang objek pengalaman estetika (yang umumnya adalah karya seni, objek alam, pohon, matahari, lereng bukit dan manusia itu sendiri). Di antara konsep-konsep yang dipakai secara konstan untuk membicarakan estetika adalah Estetika (keindahan), nilai keindahan, makna estetika, simbolisme, representasi, ekspresi, kebenaran, dan seni.

Senin, 30 Desember 2013

TRADISI SANTET SEBAGAI PRANATA BUDAYA LOKAL: Kajian Kelisanan Mantra Sabuk Mangir dan Jaran Goyang dalam Budaya Using, Banyuwangi

OLEH Heru S.P. Saputra
Fakultas Sastra Universitas Jember

Pendahuluan
Sudah menjadi realitas empiris bahwa sastra, baik lisan maupun tulis, merupakan salah satu bentuk ekspresi estetis yang sarat dengan muatan budaya. Di dalam kedua bentuk karya tersebut terjadi dialektika budaya yang saling mengisi dan melengkapi. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa kajian-kajian sastra tulis (khususnya sastra Indonesia modern), dari segi kuantitas, lebih mendominasi, sedangkan kajian-kajian sastra lisan cenderung sebagai “anak tiri” yang dinomorduakan (Suryadi, 1993: 8-9). Ketimpangan semacam itu menggelisahkan, terutama apabila mengacu pada konsepsi awal yang dilontarkan Teeuw (1988:304-305) bahwa sastra, baik dari segi sejarah maupun tipologi, tidak baik apabila diadakan pemisahan antara sastra lisan dan sastra tulis. Keduanya harus dipandang sebagai kesatuan dan keseluruhan, yakni tidak dipecah-belah berdasarkan pertentangan yang tidak hakiki. Selain itu, perlu dihindari adanya pertentangan dalam penilaian, seolah-olah hanya sastra tulis saja yang mempunyai nilai (tinggi).

Revitalisasi Indigeneous Literature, Cara Lain Membaca “Revitalisasi Sastra Pedalaman”



OLEH Ganjar Hwia
Balai Bahasa Semarang
Pamuka: Membaca Potensi Keaslian- Masa Silam-Modern
Di tengah rutinitas kerja penelitian tentang sastra modern Indonesia dan pembelajaran sastra yang menjadi spesialisasi bidang saya, saya sempat terpesona oleh hasil penelitian sastra asli (indigeneous literature)[1] di daerah-daerah “pedalaman” Indonesia yang pernah dilakukan oleh peneliti di Balai-Balai Bahasa dan induk tempat kerja saya, Pusat Bahasa. Begitu banyak, dan insya Allah masih banyak lagi, hasil penelitian tentang sastra asli Indonesia ini.  Obyeknya pun bermacam-macam, seperti sastra lisan (yang terbanyak), hikayat, cerita pendek, puisi, sastra lakon, naskah lama, serta biografi sastrawan[2].

Minggu, 22 Desember 2013

DIALOG FORUM EDITOR: Ekonomi Jalan di Tempat


Suasana Dialog Forum Editor edisi khusus di Hotel Ibis Padang
Pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Barat 2014 diprediksi tidak banyak berubah dari 2013 alias jalan di tempat. Pengamat menandai pertumbuhan dengan angka-angka, padahal kondisi ril nyaris tak berubah. Untuk kondisi Indonesia, pertumbuhan sering tidak sama dengan kenyataan.
Hal itu terungkap dalam Dialog Forum Editor edisi spesial akhir tahun yang digelar di lantai teratas Hotel Ibis Padang, Sabtu (21/12) malam. Edisi ini akan ditayangkan di Padang TV dan disiarkan RRI Padang serta Radio Classy.

Rabu, 18 Desember 2013

ANALISIS DALAM PERGOLAKAN PRRI (1958-1961): Perempuan, Seks, dan Perang

OLEH Reni Nuryanti 
Universitas Samudra Aceh

Pengatar
Tulisan ini membahas relasi antara: perempuan, seks, dan perang dalam pergolakan PRRI (1958-1961). Selama kurun tiga tahun pergolakan di Sumatera Barat, perempuan Minangkabau dihadapkan pada situasi dilematis. Dalam situasi rumit, sebagian perempuan ikut menjadi korban. Beragam kepentingan atas nama PRRI, menjadi tragedi tersendiri. Mereka mengalami intmidasi dari dua arah: pasukan PRRI dan APRI. Pada akhirnya, PRRI membawa perempuan dalam dua kelompok: mereka yang eksis dan tenggelam dalam konflik. Mereka yang eksis, menginduk ke organisasi politik atau mengikuti suami bergerilya dalam barisan PRRI. Sementara yang tenggelam, pasrah dengan situasi.

Kebijakan dan Dinamika Sastra di Padang

OLEH Darman Moenir
Sastrawan

Darman Moenir
Kebijakan sastra di Padang, Sumatra Barat, terkait dengan sejumlah lembaga pemerintah dan non-pemerintah serta interaksinya dengan berbagai kalangan di masyarakat.
Birokratisasi sastra dilakukan oleh Pemerintah Daerah (Gubernur, Wali Kota) dan Bidang Kesenian Kantor Wilayah Departemen Pen-didikan dan Kebudayaan Provinsi Sumatra Barat. Lembaga non-pemerintah yang didanai oleh Peme-rintah Daerah (Pemda) dan berdasarkan SK Gubernur dan berperan dalam mengelola kesusastraan adalah Pusat Kesenian Padang yang kemudian menjadi Taman Budaya Provinsi Sumatra Barat (TBPSB), serta Dewan Kesenian Sumatra Barat (DKSB). Pengayoman kegiatan kesusastraan didukung oleh sejumlah universitas, terutama melalui kegiatan ekstrakuri-kuler, yakni IKIP Padang, IAIN Imam Bonjol, Universitas Andalas dan Universitas Bung Hatta. Sementara itu lembaga yang berperan mengekang mobilitas sastra adalah aparat keamanan seperti Laksuskomkamtibda, Kodim dan Polresta.

Perempuan tentang Tubuh-tubuh dan Globalisasi: Jadilah Perempuan Pembangkang


OLEH Ka’bati
Penulis Novel Padusi dan Mahasiswa Sosiologi Pascasarjana Unand

Saat ini–setidaknya di Kota Padangsangat sulit kita mencari kepala perempuan yang bebas dari  tusukan jarum atau untaian manik-manik dan segala aksesoris lainnya, terutama pada jam-jam kerja. Perempuan PNS, perempuan guru, perempuan dosen, perempuan mahasiswa, perempuan dokter, perempuan politik, siswi sekolah rata-rata berdandan cenderung sama; Rambut di kucir tinggi lalu dibungkus dengan kain berbahan kaos yang diikat ketat. Belum cukup puas dengan tutup seperti itu, rambut dan kepala ditimbuni lagi dengan jilbab warna warni dan dipaku dengan peniti rumbai-rumbai, alasannya: Modis.

Refleksi Keritik Sastra: Melewati Tahun-tahun Ironi

OLEH Ivan Adilla
Kritikus Sastra

Ivan Adilla
Refleksi adalah menapak jejak masa lalu. Untuk tidak terlalu menyulitkan, jejak yang ingin ditapaki kali ini adalah yang berkaitan dengan kritik sastra, yang dari sana kita bisa melebarkannya ke bidang seni lain juga.
Dirumuskan dengan pendek, tahun-tahun yang kita lalui sejak dua atau tiga puluh tahun yang lalu diakhiri dengan ironi yang menguat. Dunia sastra dan seni pada umumnya di Sumatra Barat menutup abad ini dengan ironi. Ironi itu adalah; Ironi pertama, semakin banyak sastrawan muncul, semakin baik mutu karya, tetapi semakin tak ada kritik dan kritikus yang dengan setia dan tekun mengamati itu semua. Ironi kedua, semakin banyak perguruan tinggi sastra dibuat, semakin banyak alumnus dan sarjana sastra, semakin tak ada kritikus yang lahir. Ironi ketiga, dugaan bahwa Fakultas Sastra adalah ujian yang menakutkan untuk calon kritikus, kini telah memper-lihatkan kenyataannya. Padahal, sebaliknya, pergu-ruan tinggi untuk menulis karya sasrta tak pernah ada tetapi sastrawan makin banyak.

Selasa, 17 Desember 2013

Refleksi Sastra Sumatra Barat

OLEH Gus tf
Kolektor dan Pekerja Puisi

Pembicaraan atau diskusi dengan topik “Refleksi Sastra Sumatra Barat”, menurut hemat saya, baik dibatasi dengan, pertama, agar tidak melebar dan lebih dalam, pembicaraan difokuskan pada dua atau tiga dasawarsa terakhir. Dengan demikian pem-bicaraan akan sangat mungkin hanya tentang karya sastra yang penulisnya masih hidup, dan diharapkan berada di ruangan ini. Pun sebenarnyalah, apa guna, atau arti, kata “refleksi” bagi mereka yang telah mati? Dan oleh karenanya, kedua, izinkanlah saya untuk mungkin  akan bicara lebih banyak tentang orang-orang, tentang para penulis, dibanding karya sastra. Bukan hanya karena kata “refleksi” membuat saya mesti berketat dengan para pelaku sastra, melainkan keniscayaan bahwa topik kita kali ini hanya akan omong kosong tanpa melibatkan impuls dan daya-juang sastrawan untuk sesuatu yang di kemudian hari mungkin disebut “pencapaian”. 

Jumat, 13 Desember 2013

Menulis Puisi, Ritual dalam Diri



OLEH Yori Kayama
Penikmat Puisi

“Ia membawa kita kepada suatu tingkat maklum. Ia membawa kita kepada suatu tingkat, di mana kita dapat maklum-memaklumi sesama manusia, sehingga dapat merasai adamya suatu kenyataan dan dapat menghargai pesarasaan itu dan memasukkannya ke dalam perhitungan kita” (Asrul Sani)
Yang seperti i itulah yang dapat kita petik dan rasakan dari sebuah puisi. Secara etimologis puisi berasal dari bahasa Yunani, yang pada awalnya disebut dengan poesis yang artinya adalah penciptaan. Sedangkan dalam bahasa Inggris, padanan kata puisi adalah poetry yang berawal dari kata poet dan poem. Mengenai kata poet, Coulter (dalam Tarigan,1986:4) menjelaskan bahwa kata poet  juga berasal dari Yunani yang berarti membuat atau mencipta, dalam bahasa Yunani sendiri kata poet berarti adalah orang yang mencipta melalui imajinasinya, pada zaman itu sendiri biasanya orang-orang seperti itu bisa dikatakan sama dengan dewa-dewa. Mereka yang memiliki penciptaan itu adalah orang yang berpenglihatan tajam, orang suci atau kaum filsuf serta negarawan yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi.

Sabtu, 07 Desember 2013

Kenangan Hari Raya



CERPEN Indrian Koto
“Jika puasamu bolong satu hari saja tanpa alasan, maka puasa-puasa lain di bulan itu tidak akan diterima,” kata ibu ketika aku kelas tiga sekolah dasar. Ajaib, untuk pertama kalinya puasaku penuh sebulan tanpa bolong sama sekali.
Kata-kata ajaib ibu itu terus menjadi motivasi buatku untuk selalu berpuasa dan tak ingin bolong satu hari pun. Namun, seiring usia, justru aku merasa puasa terasa semakin berat dan penuh godaan.
Yang sangat berat bagiku ketika kecil tentu saja bangun untuk makan sahur. Sehabis itu di minggu-minggu awal puasa, anak-anak dan para remaja, akan menghambur keluar rumah. Rasanya asyik saja sehabis subuh jalan-jalan tak tentu arah. Mereka yang sudah mengenal asmara tentu lebih menikmati kesempatan itu. Setelahnya kami meringkuk tidur dan bangun di siang hari. Laki-laki berkumpul di pos ronda, anak gadis biasanya berkumpul di rumah teman perempuannya dengan muka penuh bedak beras.

Naru dan Layang



CERPEN Yetti A.KA
 Mereka berteman baik dari kecil meski tidak pernah belajar di sekolah yang sama. Sudah beberapa lama ini pula Naru tahu kalau Layang memiliki dada yang berat. Kadang saat main di rumah Naru, Layang mengeluh tentang dadanya itu. Setengah berfantasi karena ingat cerita Jack dan Pohon Kacang Ajaib Naru bertanya: Layang, apa kau merasa ada yang tumbuh di dadamu, semacam kacang ajaib yang terus membesar?
Layang tertawa mendengar pertanyaan Naru (ah, benarkah ia sungguh-sungguh tertawa?). Lalu ia membuka bajunya, memperlihatkan dada tipis dengan tulang-tulang yang seakan ingin keluar. Apa menurutmu dada ini tidak terlalu tipis untuk sebatang kacang yang besar, Naru? tanyanya. Naru merasa bersalah pada Layang karena tidak dapat membantunya untuk merasa lebih baik. Sesuatu yang—menurut cerita Layang—menghimpit dan hampir-hampir tidak menyisakan ruang kosong untuk bernapas, pada saat-saat tertentu.

Lampu Merah di Senyum Ibu


CERPEN Ilham Yusardi
Penundaan keberangkatan. Aku hilang mood, begitu tahu delay keberangkatan untuk pesawat yang akan kutumpangi.  Dari pukul tiga siang ini menjadi pukul lima, sore nanti. Tidak ada alasan yang jelas. Alamak! Aku sudah capek-capek, buru-buru, pukul dua tadi sudah datang di bandara besar ini.
Meskipun demikian, Aku hanya butuh sedikit kesabaran untuk hal yang lebih penting. Nanti, kalau sudah di atas udara aku bisa tidur pulas barang dua jam. Begitu tiba di rumah, mencium tangan ibu dan mengajukan hasratku kepada ibu.

Peziarah Pulang Terlalu Pagi



OLEH Maya Lestari Gf
Dan lalu, ketika kuburan itu selesai dibuat, maka berdirilah sekalian orang di tepiannya. Berkata salah satunya.
“Sudah selesai, persis seperti yang diminta,” tuturnya sambil menyeka muka penuh keringat. Wajahnya dikotori butir-butir tanah basah dimamah gerimis. Pagi mendung. Cuaca tak bersahabat. Tapi sebelas orang itu terus bahu-membahu menggali hingga ke dasar. Satu koma delapan meter dalam lubang kuburan itu. Panjangnya seukuran itu pula. Persis seperti yang diminta oleh orang yang akan berkubur di situ.

Kota Ketiga



CERPEN Deddy Arsya
Saya pergi ke plaza bersama ayah. Berpikir, plaza tentu tak bernasib seperti kedai kami, setiap hujan turun pasti akan terendam. Mari jalan-jalan ke plaza! seru ayah setelah kami selesai menutup kedai sore itu.
Sehabis pulang sekolah, saya sering disuruh ibu membantu ayah di kedai. Saya anak satu-satunya di keluarga kami. Ayah mulai tua dan gampang lelah. Kami berkedai di pasar raya, tetapi sungguh kami belum pernah mengunjungi plaza yang baru dibangun beberapa bulan yang lalu itu.
Plaza yang berdiri di bekas terminal kota.
Kami tinggal di pinggiran kota, tapi sebenarnya kami adalah orang-orang kampung juga. Kami hanya mendengar dari orang-orang di tempat kami, tentang plaza baru yang megah itu. Dan ibu begitu keranjingan ingin pergi ke sana. Hanya ayah tak pernah mau mengajak ibu. Entah kenapa ibu pun tak mau pergi sendiri.

Kota yang Runtuh



CERPEN Ragdi F. Daye


Ketika dia datang dan tersenyum di ambang pintu dengan tubuh yang menggetarkan itu, kau merasa lututmu goyah. Rasanya tak sabar lagi kau untuk menghambur dan melabuhkan kepala di dadanya.
Kepada ibumu dia berkata hendak membawamu jalan-jalan ke luar: Untuk mengenal lebih dalam.
“Pergilah,” izin ibumu. “Tapi jangan pulang terlalu malam. Ingat, kalian baru tunangan.”
Dengan tersipu-sipu kau bergegas masuk ke dalam kamar. Mencari baju paling indah yang kau punya. Kau patut-patut diri di depan kaca. Merapikan kerudung hijau muda di kepala. Di cermin, kembali kau melihat wajah persegi itu tersenyum hangat. Akhirnya doa panjangmu terjawab. Tidak tanggung-tanggung. Kau dikirimkan sesosok malaikat.

DEKONSTRUKSI CITRA KEPEREMPUANAN DALAM SASTRA: Dari Budaya Lokal Hingga Global

OLEH Ali Imron A.M. 




Abstrak 
Sosok perempuan dalam karya sastra Indonesia tampil dengan pluralitas budaya dan makna yang kaya nuansa. Sejalan dengan mencuatnya issu gender dan eksisnya kaum wanita pada abad XXI seperti diprediksikan oleh futurolog Naisbitt & Aburdence (1990), citra dan stereotip perempuan dalam sastra Indonesia pun mengalami dinamika yang luar biasa unik dan menarik. 
Permasalahannya adalah bagaimana dinamika prasangka gender dalam sastra Indonesia. Lalu, bagaimana citra perempuan dalam sastra Indonesia dalam perspektif gender, dan bagaimana tipologi suara pengarang laki-laki dan perempuan dalam menyoroti sosok perempuan?
Dengan menggunakan pendekatan kritik sastra feminis ideologis dan dengan sampel bertujuan (purposive sample), maka ditemukan bahwa nuansa gender telah lama disoroti oleh para sastrawan kita, setidak-tidaknya dimulai pada roman Sitti Nurbaya karya Marah Rusli pada zaman Balai Pustaka. Sitti Nurabaya merupakan tokoh profeminis yang memprotes ketidakadilan gender yang telah mendarah daging, meskipun idenya tidak radikal. Dia hanya ingin membenahi sistem hubungan laki-laki dan perempuan sebagaimana mestinya.

PUISI Evan YS



Menjilat Luka Waktu

Langkah terseok tertatih menapak masa
Lelah mencerna suara tak beraturan

Bergumam, berdengung tanpa definisi

Aku muak, luka, dan muntah!

Darah dari luka-luka mengalir tak terbendung
Torehkan nyeri yang paling nyeri

Keculasan bertahta megah pada nurani
Kubur tembang perdamaian

Museumkan catatan usang

Demi sebuah keagungan
---sejarah---

akupun terseok menekan luka yang menerobos jantung

jilati hari tanpa makna

tanpa kata
tanpa suara

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...