Selasa, 21 November 2017

Militansi Seorang Gustinar, 25 Tahun Mendorong Gerobak untuk Asapi Dapur

Setiap Hari Berjalan dari Payakumbuh-Bukittinggi 
OLEH Nasrul Azwar
Gustinar
Gustinar, dua pekan lalu, tak bisa beranjak dari dipannya. Ia demam. Panas-dingin badannya. Tulangnya rangkik-rangkik. Ngilu semua sendi. Ia tak bisa berjualan. Dua hari dirinya terkapar.
“Hari ini masih terasa. Badan ini belum sehat benar. Tapi saya pikir, jika tak manjojo (jualan), kami mau makan dengan apa, Dek?” katanya kepada saya di Pasa Ateh, Bukittinggi, Minggu (3/4/2016), siang.
Gustinar mengaku menguat-nguatkan dirinya agar bisa berjualan. Awalnya, ia belum bisa manjojo terlalu jauh. Saat bertemu dengannya, tampak pancaran matanya masih kuyu, bibirnya terlihat pecah-pecah. Tapi semangat berdagangnya masih menyala. Gustinar seperti mewakili militansi masyarakat kecil mencari rupiah yang halal.
“Setelah deman, saya berjualan di sekitar Payakumbuh saja. Ini baru saya ke Bukittinggi. Tapi masih sering berhenti berjalan jika saya merasa panek,”  jelasnya.

Senin, 20 November 2017

Proses Kreatif? Entah, Mungkin Tak Ada ...

OLEH Gus tf Sakai (Sastrawan)
Dalam sejumlah seminar atau pertemuan sastra, dalam setiap workshop atau bengkel penulisan prosa, selalu, pertanyaan inilah yang tak henti dan tak bosan ditanyakan kepada saya: “Bagaimanakah proses kreatif Anda?” Untuk pertanyaan ini, selalu pula saya akan tertegun, sejenak, dan dengan menyesal lalu menjawab: “Entah, mungkin tak ada ....”

Tari-Teater "The Margin of Our Land”, Alpa pada Aspek Transformabilitas

OLEH Nasrul Azwar (Presiden AKSI)
Pertunjukan tari-teater "The Margin of Our Land” di Anjungan Seni Idrus Tintin, 
Pekanbaru, Sabtu (28/10/2017) (Foto Denny Cidaik)
Panggung ditembak cahaya warna kekuningan membentuk motif petak seluas satu kali dua meter di kiri pentas. Di ujung petak itu, seorang lelaki berdiri tanpa gerak. Sekitar dua menit. Hening.
Lalu, lelaki itu menghempaskan tubuhnya ke dalam petak cahaya. Dalam sorotan cahaya yang berganti-ganti, sosok tubuh-tari muncul merepresentasikan simbol-simbol kekalutan sosial. Ada 9 tubuh yang tak nyaman dan gelisah di sana, bersamaan muncul 9 buah pancang yang biasa digunakan pembatas tanah. Pancang itu simbol tanah ulayat yang sudah di bagi-bagi. Dan kelak, pancang itu mereka jadikan senjata melawan investor atau penguasa yang merampas tanah ulayat mereka.

Minggu, 05 November 2017

Bahana Puisi di Benteng Portugis Pulau Cingkuak

CATATAN SILATURAHMI MANDE BAPUISI ANTARKOMUNITAS
OLEH Nasrul Azwar (Presiden AKSI)

Penampilan para pembaca puisi, musikalisasi, pantomim, serta seni tradisi Minang dalam “Silaturahmi Mande Bapuisi, Rekonstruksi 28 dalam Hari Puisi”. (Foto Panitia) 
Bebatuan bata sebagian masih tersusun relatif rapi, kendati tak utuh. Inilah sisa sebuah kawasan pertahanan perang dan sekaligus tempat pengintaian musuh yang digunakan bangsa kolonial Portugis. Posisinya sangat strategis. Saat ini dikembangkan sebagai salah satu destinasi wisata Pesisir Selatan.

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...