Minggu, 05 Juli 2015

'Memoles' Partisipasi Indonesia di Frankfurt Book Fair 2015

Linda Christanty 
Mantagibaru.com—Seratus hari menjelang perhelatan Frankfurt Book Fair di Jerman, pada Oktober mendatang, menguar kritik dari beberapa penulis tentang partisipasi Indonesia di ajang jual beli rights tersebut. Salah satunya, kritik yang dilontarkan sastrawan Linda Christanty di akun Facebook-nya, pekan lalu.

Ia antara lain menyoroti tema yang diusung Indonesia, tidak adanya kriteria dan transparansi dalam menentukan penulis partisipan, dan proses subsidi penerjemahan yang tidak berjalan semestinya.
Dalam pendapat yang ditayangkan di akun Facebook, pada 23 Juni 2015, Linda menyinggung sebuah berita di situs web DW Indonesia yang disebutnya tidak berdasarkan fakta. Sontak opini yang ditulisnya ini menuai perhatian banyak kalangan.

Berita tersebut menyoroti peluang Indonesia sebagai Tamu Kehormatan Frankfurt Book Fair 2015, juga peran dua penulis Indonesia yang dianggap pelopor penulisan novel berlatar peristiwa 1965. Kalimat "memaksa Indonesia berhadapan dengan sejarah kelamnya adalah penulis perempuan" dalam berita tersebut adalah kalimat yang dikritik Linda.

 “Itu kebohongan yang luar biasa,” tulis Linda. Menurutnya, karya fiksi yang mengisahkan peristiwa 1965 sudah ada sejak lama, jauh sebelum buku Leila S. Chudori dan Laksmi Pamuntjak dirilis, mulai dari masa presiden Suharto berkuasa hingga sekarang.

Linda menyebut nama sederet penulis, dari Noorca M. Massardi, Umar Khayam, Ahmad Tohari, sampai  Mira W. yang juga mengisahkan peristiwa 1965 dalam karya mereka.

Menurutnya, tidak tepat menyimpulkan Leila dan Laksmi sebagai penulis perempuan yang memaksa Indonesia berhadapan dengan sisi kelamnya yang terkait peristiwa 1965.

Ia mengatakan bahwa dari segi kuantitas, penulis laki-laki yang justru paling banyak menjadikan tema itu dalam karya mereka. Penulis laki-laki maupun perempuan telah menulis karya bertema tersebut dengan perspektif yang juga beragam, dari waktu ke waktu.

Saat dihubungi CNN Indonesia via sambungan telepon, pada (30/6/2015), sang penulis mengaku melontarkan kritik semata untuk memperbaiki pelaksanaan proyek pemerintah ini.

"Kritik kami adalah fungsi kontrol terhadap hal yang berkaitan dengan proyek pemerintah dan hal itu biasa dilakukan di sebuah negara demokrasi,” kata Linda. Kritik adalah bagian dari cara berdemokrasi, katanya.

Menurutnya, apa yang disampaikan melalui akun Facebook relevan dengan slogan Pemerintah sekarang yang ingin membebaskan Indonesia dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.

Partisipasi Indonesia di ajang berskala internasional FBF adalah proyek pemerintah Indonesia untuk mengenalkan buku-buku Indonesia ke dunia internasional. Rombongan partisipan Indonesia berangkat ke Jerman dibiayai uang negara.

"Indonesia menjadi Tamu Kehormatan FBF merupakan proyek negara, bukan proyek pribadi atau proyek kelompok," katanya. "Publik juga tak pernah tahu bagaimana Komite Nasional dipilih. Itu juga masalah tersendiri."

Tak hanya pemilihan Komite Nasional, Linda juga mempertanyakan dan mempermasalahkan pemilihan penulis yang akan berangkat ke FBF 2015. "Sejak awal tidak pernah ada kriteria yang ditetapkan dan diumumkan," kata Linda.

Tanpa adanya transparansi, Linda menengarai akan ada celah untuk terjadinya kolusi. Ia menegaskan, sebagai bagian dari transparansi, seharusnya panitia menetapkan kriteria penulis yang dipilih dan mengumumkan secara terbuka.

Sorotan Linda makin tajam kala membahas soal subsidi penerjemahan buku yang diikutsertakan ke FBF. Proses subsidi penerjemahan ini sangat rumit, disebut Linda, yang menunjukkan kegagalan dari kerja komite.

Padahal subsidi penerjemahan buku ini didanai pemerintah agar buku-buku berbahasa Indonesia yang merupakan buku-buku terbaik dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Jerman dan Bahasa Inggris untuk diikutsertakan ke FBF 2015.

“Kalau tidak ada buku-buku terjemahan yang memadai, apa yang mau dipromosikan kepada dunia luar di FBF nanti,” katanya.

Diakuinya, tak sedikit penulis yang mengeluhkan proses subsidi penerjemahan yang rumit.

Dalam hal buku-buku sastra, tidak ada karyanya dan banyak rekan sastrawannya yang diterjemahkan ke Bahasa Jerman atau Bahasa Inggris. Bukunya yang diterjemahkan ke Bahasa Jerman adalah buku esai politik dan budayanya yang berjudul Jangan Tulis Kami Teroris. Buku ini akan terbit pada awal September nanti di Berlin dengan judul Schreib Ja Nicht, Dass Wir Terroristen Sind!

Kalau sudah begini, ia yakin, karya-karya sastra yang diikutsertaan di FBF tidak dapat menjadi presentasi yang signifikan dari karya-karya terbaik Indonesia.

"Sebagai Tamu Kehormatan FBF,” kata Linda, “seharusnya Indonesia memamerkan karya terbaik. Inilah kesempatan menjadi sorotan dunia, ketika semua mata tertuju kepada kita dan harus dimanfaatkan."

Ia mengaku sudah dihubungi panitia sejak awal Juni untuk diikutsertakan karyanya di FBF, namun setelahnya tak ada kelanjutan apa-apa. Tapi Linda mengaku tak pernah melihat daftar 70 penulis yang akan diberangkatkan ke FBF 2015. Padahal transparansi itu sudah seharusnya dilakukan, mengingat keikutsertaan Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di FBF 2015 ini adalah proyek Pemerintah.

Untuk itulah, Linda melontarkan kritik, sebagai kontrol terhadap kinerja panitia atau Komite Nasional. Kinerja harus segera diperbaiki mengingat perhelatan FBF tinggal 100 hari lagi.

Saat ditanya adakah ia berharap ada tindak lanjut setelah dihubungi sekretariat Komite Nasional, Linda menjawab, "Apa yang bisa saya harapkan, pelaksanaan FBF tinggal tiga bulan lagi."

Linda hanya berharap Komite Nasional memberikan tanggapan baik terhadap kritik-kritik yang dilontarkan. Khusus untuk sastra, ia mengatakan bahwa seharusnya orang-orang yang terlibat dalam komite itu mempunyai pengetahuan yang baik tentang sastra dan sastrawan yang karyanya layak diunggulkan di FBF.

"Kami melontarkan kritik karena melihat ada sesuatu belum berjalan baik sebagaimana mestinya," katanya. "Kami ingin Komite Nasional yang dipilih pemerintah menampilkan kinerja terbaiknya."


Sumber: CNN Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...