Minggu, 19 Mei 2019

Islam Nusantara Bukan Sebuah Ajaran


WAWANCARA dengan Dr Abdullah Khusairi
Islam Nusantara sebuah entitas kebudayaan Islam yang  dipandang dari perspektif sosial budaya. Islam Nusantara berarti memahami corak keberagamaan umat Islam di bumi Nusantara dari waktu ke waktu.
Sekali lagi, saya tidak melihat Islam Nusantara sebuah ajaran. Ia hanyalah hasil dari wacana filosofis, wacana historis dan sosiologis. Sama sekali bukan wacana teologis, apalagi sebuah ajaran lengkap modifikasi dari Islam yang kita kenal. Berikut wawancara Nasrul Azwar dengan pengajar UIN Imam Bonjol Padang yang juga sosok sastrawan ini.
Bagaimana Anda membaca tentang penolakan keras MUI Sumbar terhadap Islam Nusantara?
Adalah boleh berbeda dalam pandangan sepanjang tidak ada yang prinsip-prinsip teologis: akidah dan tauhid. Sebab Islam memang tidak bisa hanya dipahami satu perspektif. Islam sebagai sistem nilai yang bersifat universal, sulit sekali dipadukan dalam satu perspektif pemahaman karena latar belakang ilmu, budaya, daerah, tentu sangatlah mempengaruhi bagaimana orang berislam.

Paling penting dikedepankan adalah menghormati perbedaan pemahaman tanpa menuding ada yang paling benar ada pula yang paling salah. Penolakan itu harus dipandang sah, walau masih menimbul pertanyaan terbalik, siapa yang telah menawarkan sehingga kita harus menolak?
Lalu, selaian ada itu ada pula Islam Berkemajuan yang ditawarkan Muhammadiyah?
Selain diksi "Islam Nusantara" juga ada diksi "Islam Berkemajuan". Produk wacana dari dua ormas besar yang saya kira patut juga diapresiasi pada wilayah pergerakan, bukan wilayah teologis. Dua diksi ini berbeda jalur pergerakan dengan capaian yang hendak dicapainya sangat tak mungkin buruk dan keliru.
Apakah Anda setuju dengan penolakan MUI terhadap Islam Nusantara?
Tentu saja setuju. Para pakar di MUI Sumbar mengkaji dari berbagai sisi. Menimbang buruk dan baik bagi umat. Tetapi sebuah kesepakatan penolakan bisa saja pada suatu saat tidak sesuai lagi pada zamannya sehingga dengan sendirinya akan runtuh. Kita bisa membaca ini berkaitan dengan konteks politik sosial dan budaya. Sekali lagi, bukanlah ranah teologis yang membuat perbedaan mencolok pada pemahaman akidah. Tidak sama sekali. Sering sekali ada persoalan lain, jauh dari tinjauan akidah karena ada hal-hal lain menyangkut kekuasaan dan ekonomi. Inilah yang semestinya diperhatikan. Islam Nusantara sering dianggap keliru bagi orang yang belum membaca secara utuh, begitu juga sebagian yang lain membaca Islam Berkemajuan.
Semuanya memiliki argumen yang bisa saja suatu saat tidak sesuai lagi dengan konteks. MUI Sumbar tentu saja sudah menimbang risiko penolakan itu sebagai bagian dari perjuangan untuk kebaikan umat.
Bagaimana pandangan Anda soal Islam Nusantara itu?
Sependek yang saya baca, Islam Nusantara merupakan satu entitas kebudayaan Islam yang  dipandang dari perspektif sosial budaya. Saya bersetuju dengan Prof Azyumardi Azra, menyebut Islam Nusantara berarti memahami corak keberagamaan umat Islam di bumi Nusantara dari waktu ke waktu. Misalnya secara umum, Islam Nusantara itu corak teologis yang berkembang adalah cenderung asy'ariyah, syariat atau fikih yang dipakai cenderung syafii, tasawuf yang berkembang adalah tasawuf akhlaqi.
Pada ruang-ruang akademis, wacana Islam Nusantara tidak punya pretensi politik kekuasaan. Sehingga, ia hanyalah wacana dalam pembelajaran. Hanya saja, menjadi masalah yang sangat besar ketika hiruk pikuk politik identitas mengemuka akhir-akhir ini. Sehingga, menyebut Islam Nusantara berarti ada sentimen politik yang terpasung di diksi ini. Ya, tergantung orang yang membacanya. Saya membacanya, datar-datar saja. Jauh sebelum diributkan, saya telah membaca tentang jaringan ulamaNusantara, tentang masuknya islam, aliran pemikiran islam, sehingga sulit tidak memiliki pembacaan sentimen. Biasa saja. Bagi orang yang baru mendengar, lalu diseret ke wilayah teologis, ya runyamlah.
Bisa dihubungkan dengan polarisasi adat Minangkabau dengan Islam Nusantara, yang adat Minangkabau itu berfalsafah ABSSBK (Kitabullah itu kan Alquran)?
Menurut saya, justru segala hal yang lahir dari produk budaya yang ada di Nusantara, ya itulah Nusantara. ABSSBK, menurut saya itu adalah juga termasuk bagian dari wacana Islam Nusantara. Tetapi saya yakin, banyak juga yang tak setuju karena memahami Islam Nusantara sebagai wacana teologis, bukan wacana historis dan sosiologis. Sehingga diksi Islam Nusantara adalah sebuah diksi yang membahayakan. Saya kira, tidak. ABSSBK adalah filosofi yang dilahirkan oleh para ulama di Minangkabau Nusantara yang harusnya disebarkan ke penjuru dunia.
Sebagai produk pemikiran, agar terus bertahan dan berkembang, yang membutuhkan gerakan. Saya kira, ABSSBK harus digerakkan terus sepanjang waktu. Jika dianggap termasuk dalam spektrum Islam Nusantara kalau tak setuju maka tolak lagi. Tak apa juga. Persoalan kita sekarang, apakah semua harus berhenti pada satu diksi lalu heboh saban hari? Sementara begitu banyak agenda lain yang mesti dibenahi di tengah umat.
Penolakan ini apakah bentuk “perlawanan” Minangkabau terhadap pusat?
Boleh jadi begitu. Sebab karakter kita memang tidak mudah terpengaruh dengan wacana dari luar sebelum mendapat sesuatu yang lebih berarti dari wacanan yang datang. Ini baik tentu saja.
Hal ini juga mestinya juga menjadi benteng pada sektor budaya, misalnya budaya global yang datang, teknologi yang masuk, pandangan hidup baru, juga harus dikritisi, ditolak. Namun jangan sampai terjebak dalam posisi reaktif dan kontraproduktif terhadap perkembangan kehidupan di tengah ummat.
Apakah Anda melihat Islam Nusantara cocok diterapkan di Minangkabau atau bisa dijelaskan bagian mana tak disetujui itu, dan mana yang disetujui?
Sekali lagi, saya tidak melihat Islam Nusantara sebuah ajaran. Ia hanyalah hasil dari wacana filosofis, wacana historis dan sosiologis. Sama sekali bukan wacana teologis, apalagi sebuah ajaran lengkap modifikasi dari Islam yang kita kenal. Saya tak menemukan seperti itu. Saya memahami, Islam Nusantara sebuah istilah menyebutkan perkembangan Islam di bumi Nusantara dari waktu ke waktu. Lalu, istilah ini menjadi bermasalah, karena menyangkut kuasa uang, kuasa politik, serta ada pihak-pihak berkepentingan menungganginya menjadi sebuah gerakan politik identitas.
Saya kira, bukan soal setuju atau tidak setuju, tetapi apa memang penting kita terjebak dalam permainan dan menari, misalnya, di atas gendang para pemburu rente. Sering kali, setelah semuanya terbongkar, ternyata semua itu sebagai umpan. Sementara kita sudah terjebak dan kelabakan dalam labirin wacana tanpa memberi apa-apa pada kehidupan umat. n nasrul azwar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...