Kamis, 02 Mei 2019

Korban Terus Bertambah, Pemilu Memilukan


SEJARAH MENCATAT

 377 MENINGGAL  2.912 SAKIT  TOTAL 3.289

 

Mantagisme.com—Masifnya petugas pemilu yang meninggal dunia dan jatuh sakit perlu mendapat perhatian semua pihak. Perlu kajian mendalam dan komprehensif.

 Komisi Pemilihan Umum (KPU) melansir, hingga Rabu, 1 Mei 2019, jumlah petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia mencapai 377 orang dan 2.912 sakit. Total 3.289 orang.


Salah seorang anggota KPPS di Kabupaten Magetan yang meninggal diduga mengalami kelelahan dalam melaksanakan kegiatan Pemilu 2019 (KOMPAS.com/DOK RIZAL)

"Data per 1 Mei 2019, petugas KPPS yang meninggal dunia mencapai 377 orang, sakit 2.912. Totalnya total 3.289 orang," kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPU RI Arief Rahman Hakim, Rabu, 1 Mei 2019 di Jakarta.

Saat ini KPU sedang berupaya menyalurkan dana santunan yang telah disetujui Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Pihak KPU masih menyusun petunjuk teknis pencairan dana santunan, serta memverifikasi data calon penerima yang kini sedang diproses oleh KPU provinsi,  kabupaten, dan kota. Verifikasi tersebut menyangkut validasi data seperti nomor rekening ahli waris atau petugas yang terluka ataupun sakit.

Nantinya, penyaluran santunan akan dilakukan secara serentak oleh jajaran KPU seluruh Indonesia dengan cara mentransfer sejumlah nominal ke rekening yang bersangkutan.

"KPU melakukan verifikasi data termasuk data nomor rekening ahli waris atau penyelenggara yang luka atau sakit. Pembayaran santunan diberikan melalui transfer ke rekening yang bersangkutan, atau ahli warisnya," jelas Arief.

Penyerahan santuanan ini menindaklanjuti turunnya Surat Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati bernomor S-317/MK/02/2019 tertanggal 25 April 2019.

Diuraikan di dalamnya, besaran santunan disetujui sebesar Rp36 juta bagi petugas meninggal dunia, Rp30 juta untuk mereka yang cacat permanen, luka berat Rp16,5 juta dan luka sedang Rp8,25 juta.

Sementara mereka yang jatuh sakit, sesuai petunjuk teknis yang tengah disusun KPU, mereka akan dimasukkan dalam kategori luka sedang maupun luka berat. Besaran ini merupakan angka maksimal yang tidak boleh dilampaui sesuai persetujuan Menteri Keuangan.

“Mereka yang mendapatkan santunan dihitung sejak kecelakaan kerja dalam periode Januari 2019 hingga berakhirnya masa tugas bersangkutan di pemilu 2019,” katanya.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman mengatakan sudah mendapatkan surat dari Kementerian Keuangan berkaitan dengan pemberian santunan kepada para Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang menjadi korban dalam penyelenggaraan Pemilu 2019.

Arief mengatakan, KPU akan memberikan santunan kepada para korban baik yang meninggal dunia maupun yang luka-luka, dengan besaran nominal maksimal Rp36 juta untuk yang meninggal dunia dan Rp30 juta bagi yang luka-luka.

“Jadi untuk yang meninggal dunia itu Rp36 juta kemudian yang sakit dan luka-luka, maksimal Rp30 juta. Karena maksimal Rp30 juta, itu kan nanti tergantung lukanya hanya luka lecet atau patah atau ada yang hilang anggota tubuhnya. Nanti jadi hal yang diverifikasi," katanya saat ditemui di kawasan Cikini, Jakarta, Senin (29/4/2019).

Ia mengatakan, dalam menentukan pihak yang wajib mendapatkan santunan, KPU akan melakukan verifikasi ke lapangan untuk menentukan besaran angka yang perlu diberikan.

"Tapi yang terpenting dia harus penyelenggara pemilu yang tertimpa musibah saat menjalankan tugas saat menyelenggarakan pemilu, itu syarat utama untuk mendapatkan santunan," ujarnya.

Arief menargetkan, dalam minggu ini verifikasi sudah dapat dilakukan, agar pembagian santunan bisa segara dibagikan ke para korban maupun ahli waris yang berhak menerima.

"Saya sudah minta ke sekjen untuk melakukan itu, mudah-mudahan minggu ini sudah bisa," katanya.

Prabowo Heran

Sementara itu, calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto mengaku heran dengan banyaknya petugas KPPS yang meninggal dunia. Menurutnya sepanjang sejarah demokrasi Indonesia, baru kali ratusan petugas KPPS meninggal dunia usai Pemilu.

"Bahkan kita heran baru sekarang terjadi sepanjang demokrasi kita 300 lebih petugas kita meninggal karena kecapean," kata Prabowo Subianto dalam peringatan hari buruh di Tennis Indoor, Senayan, Jakarta, Rabu (1/5/2019).

Prabowo Subianto mengaku prihatin dengan meninggalnya para petugas KPPS tersebut.

Apalagi menurut para dokter kejadian tersebut tidak masuk akal.

Ketua Umum Partai Gerindra yang juga Calon Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto menghadiri peringatan Hari Buruh atau May Day di Tennis Indoor, Senayan, Jakarta, Rabu (1/5/2019).

"Para dokter mengatakan ini kurang masuk akal. Mudah-mudahan nanti akan terungkap apa yang terjadi sebenarnya," katanya.

Di lokasi yang sama, Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, mestinya KPU dan pemerintah bisa memberikan lebih dari Rp36 juta untuk yang meninggal dunia.

"Mestinya ya kita bisa memberikan lebih. Tapi saya kira itu yang harus dijelaskan pemerintah dan KPU kenapa mengusulkan angka itu karena kan ini juga terjadi dengan kemampuan kapasitas negara," ujarnya.

Selain itu, Titi mengatakan, mestinya para KPPS yang menjadi korban tak hanya diberikan santunan yang bersifat material. Tapi juga perlu diberikan pengakuan seperti halnya orang telah mengharumkan negara.

"Untuk memberikan kompensasi tapi saya kira bukan kompensasi material ya. Selain material juga harus ada kompensasi yang diberikan kepada mereka. Penghargaan immaterial berupa pengakuan atas kerja-kerja mereka sebagai orang yang sudah mengharumkan negara juga harus diberikan," pungkasnya. 

Banyak Petugas Meninggal, Inverstigasi

Sementara itu, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), berencana akan meneliti sebab musabab masifnya petugas KPPS dan pengawas yang meninggal dunia dan jatuh sakit pascapemilu Rabu, 17 April 2019 lalu.

“Tentu penelitiannya juga kita ajukan ke komite etik. Penelitian tujuannya adalah hasil dari kajian ini akan kami berikan untuk pemangku berikutnya,” kata Dekan FKUI Ari Fahrial Syam.

Humas FKUI Iris Rengganis, Manajer Pendidikan FKUI Em Yunir, Sekretaris Pimpinan Fakultas Yuli Budiningsih, Ketua Program Studi Magister Kesehatan Kerja Dewi serta Ketua Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas Herkutanto, menyampaikan gagasan untuk meneliti lebih jauh terkait penyebab berjatuhannya para penyelenggara pemilu.

Menurut Ari hasil penelitian tim FKUI nantinya juga akan dapat dijadikan rujukan apakah model Pemilu Serentak 2019 tetap ideal untuk digelar disesuaikan dengan kemampuan petugasmya.

“Apakah pemilu yang memang model seperti ini terus kita pertahankan atau memang seperti yang kita usulkan, dibuat sistem shift,” tutur Ari.

FKUI sendiri menilai proses pemungutan dan penghitungan suara di TPS dengan lima surat suara menyita tenaga hingga pikiran yang tidak sedikit bagi penyelenggara.

“Sementara secara normal sebenarnya kita bekerja keras itu 8 jam, kemudian bekerja ringan 8 jam dan 8 jam sisanya itu adalah untuk beristirahat dan 8 jam istirahat itu 6 jam untuk tidur,” tambah Ari.

Perlu Penelitian

Dari Medan dilaporkan, Dokter Umar Zein, salah seorang Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) menilai, petugas KPPS dan panwas yang meninggal dunia belum tentu tak semua sepakat faktor kelelahan yang menjadi penyebabnya.

Seperti dilansir dari akunnya, mantan Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan ini mengatakan, perlu penelitian untuk mengungkapkan penyebabnya. Namun Umar Zein menyebutkan penyebabnya bukan karena faktor kelelahan.

“Petugas itu tidak dalam kerja paksa. Berbeda dengan apa yang dilakukan semasa penjajah Belanda yang memberlalukan kerja paksa membuka jalan. Pekerja dipaksa membuka parit, memecah batu, dan lainnya tanpa diberi asupan makanan yang cukup. Akhirnya banyak pekerja yang meragang nyawa,” kata mantan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RUSD) dr Pirngadi Medan ini mencontohkan.

Menurut Umar Zein, kondisi ini berbeda yang dialami pada petugas pemilu yang bekerja di TPS atau di tempat lain. “Mereka cukup mendapatkan minuman dan makanan, bukan kerja paksa, ada waktu istirahat meski bergantian, boleh permisi bila kondisi darurat,” lanjutnya.

“Ratusan petugas yang meninggal dunia akibat kelelahan saat melakukan rugas KPPS di TPS tidak bisa langsung menyebabkan kematian. Ada tiga “pintu” kematian, yaitu otak, jantung dan paru. Bila otak tidak cukup mendapat oksigen oleh berbagai sebab, misalnya penyumbatan pembuluh darah, maka terjadi kematian sel-sel otak. Tetapi pasien tidak langsung mati. Ada mekanisme kompensasi untuk mempertahankan kehidupan sel-sel yang lain. Bahkan kematian Batang Otak disebut kematian secara medis, butuh waktu beberapa jam untuk kemudian terjadi kematian biologis, setelah jantung dan paru berhenti berfungsi,” tuturnya.

Dia menegaskan gagal jantung, gagal ginjal, gagal hati, tidak langsung mati, mungkin koma dulu beberapa hari bahkan lebih.

Dia mengurai kelelahan petugas pemilu pastilah tidak sampai 1/1000 dari kelelahan pada pekerja paksa zaman Belanda. Kelelahan mungkin bisa sebagai pemicu gangguan akut atau eksaserbasi dari penyakit kronik yang diidap.

“Ini butuh pembuktian pemeriksan medis yang cermat. Lalu, mengapa diberitakan di media, banyak petugas pemilu meninggal dunia akibat kelelahan? Ini pembodohan pada rakyat awam atau orang yang tidak faham ilmu medis, atau sedikit tahu ilmu medis,” ungkapnya.

“Penyebab kematian tidak sesederhana itu, saudara-saudara sebangsa dan setanah air, Indonesia! Kematian mendadak (sudden death) secara medis, akibat proses di jantung, paru atau otak atau gabungannya,” tukasnya.

“Apa penyebab kematian ratusan petugas pemilu Indonesia tahun 2019 ini, perlu penelitian. Yang pasti bukan kelelahan,” tegasnya.  nas

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...